Minggu, 19 Juni 2011

TA’ARUDL (KONTRADIKSI) DAN TARJIH



Pada pelajaran yang kesepuluh dari pelajaran tentang ushul fiqih ini kita akan membahas apa yang harus dilakukan oleh seorang mujtahid ketika dia menghadapi beberapa dalil yang dzahirnya berbeda atau yang keliahatnnya terjadi kontradiksi antara yang satu dengan yang lainnya

PERTAMA : PENYEMPURNA PEMBAHASAN TENTANG BAHASA
MAFHUM MUKHALAFAH

1.      Definisinya
Yaitu jika suatu makna yang ditunjukkan oleh suatu kata itu pada tempat yang didiamkan berbeda dengan makna pada tempat yang disebutkan

2.      Macam-macamnya
Mafhum sifat
a.       definisinya
yaitu pebunjukan suatu kata yang dibatasi dengan suatu sifat yang berlawanan hukumnya ketika sifat itu sudah berakhir.

b.      contohnya
Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang onta : “Pada onta yang tidak dicarikan makanan, di setiap lima ekor wajib mengelurkan zakat satu ekor”.[1]
1)       Manthuq (yang disebutkan) oleh hadits itu adalah kewajiban mengeluarkan zakat pada onta yang digembalakan.
2)       Mafhum mukholafah hadits itu adalah bahwa onta yang dicarikan makanan oleh pemiliknnya tidak wajib dikeluarkan zakatnya.

Mafhum syarat
a.       definisinya
yaitu bahwa penggantungan sesuatu dengan syaratnya mengharuskan keberadaan suatu hukum jika syarat itu ada dan mengharuskan ketiadaan hukum jika syarat itu tidak ada.

b.      contohnya
Firman Allah : إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَأٍ فَتَبَيَّنُوا  (jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti). (Al Hujurat : 6)
1)       Manthuq ayat ini adalah tidak boleh menerima berita dari orang yang fasik kecuali setelah diadakan penelitian.
2)       Mafhum mukholafah ayat itu adalah bahwa orang yang tidak fasik (adil) dapat kira terima beritanya dengan tanpa penelitian.

Mafhum ghoyah (batasan, tujuan)
a.       definisinya
yaitu suatu penunjukkan kata yang dibatasi dengan suatu batasan tertentu dimana setelah batasan itu hukumnya berbeda dengan sebelumnya.

b.      contohnya
Firman Allah : وَلَا تَقْرَبُوهُنَّ حَتَّى يَطْهُرْنَ  (dan janganlah kamu mendekati mereka, sebelum mereka suci). (Al Baqoroh : 222)
1)       Manthuq ayat itu bahwa haram mencampuri istri pada waktu haid
2)       Mafhum ayat itu adalah bahwa boleh mencampuri istri setelah suci dan bersuci.

Mafhum ‘adad (bilangan)
a.       definisinya
yaitu penunjukan suatu kata yang dibatasi dengan suatu bilangan dimana selain bilangan itu hukumnya menjadi berbeda denganya.

b.      contohnya
Firman Allah : فَاجْلِدُوهُمْ ثَمَانِينَ جَلْدَةً  (maka deralah mereka (yang menuduh itu) delapan puluh kali dera). (An Nur : 4)
Mafhum mukhalafah dari ayat ini adalah tidak beleh melakukan cambuk lebih atau kurang dari bilangan ini.

3.      Syarat-syarat mengamalkannya
Yaitu jika batasan itu tidak memiliki faedah yang lain selain untuk menafikan hukum ketika batasan itu tidak ada.

Pengecualian-pengecualian
1.        jika batasan itu disebutkan karena mengikuti sesuatu yang umum (khoroja makhrajal gholib), seperti : وَرَبَائِبُكُمُ اللَّاتِي فِي حُجُورِكُمْ مِنْ نِسَائِكُمُ اللَّاتِي دَخَلْتُمْ بِهِنَّ  (anak-anak isterimu yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri). (An Nisa’ : 23). Maka keadaan anak perempuan istri berada dalam pemeliharaan suami bukanlah merupakan suatu batasan yang bertujuan mengecualikan, tetapi karena hanya menyebutkan sesutau yang umum terjadi, yaitu bahwa anak istri itu didiki dalam pengawasan ibunya yang ikut suami yang baru. Pendapat ini berbeda dengan Ibnu Hazm.
2.      jika batasan itu bertujuan untuk menunjukkan suatu makna yang banyak, seperti firman Allah : اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لَا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ  (Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampun kepada mereka). (At Taubah ; 80). Penyebutan bilangan tujuh puluh itu bukan merupakan batasan yang bertujuan mengecualikan. Tetapi maksudnya adalah untuk melebih-lebihkannya.

Kehujjahan Mafhum Mukhalafah
    1. Semua mafhum mukhalafah yang kami sebutkan itu disepakati oleh para ahli ilmu ushul fiqih sebagai hujjah pad aselain nash-nash syari’at, maksudnya adalah pad aungkapan-ungkapan manusia, transaksi-transaksi mereka dan wasiat-wasiat mereka.
    2. pada nahs-nash syari’at mereka berselisih menjadi dua buah kelompok.
a.       Madzhab Hanafi tidak menjadikannya sebagai hujjah.
b.      Madzhab Jumhur menjadikannya sebagai hujjah.


KEDUA : DALIL-DALIL YANG KONTRADIKSI (TA’ARUDL) DAN TARJIH

1)      MAKNA KONTRADIKSI (TA’ARUDL)
1.      Menurut bahasa
Yaitu suatu penghalang untuk mengetahui sesuatu yang dimaksud dan penghalang sampai ke tujuan.

2.      Menurut istilah
Yaitu jika suatu dalil syari’at itu menunjukkan suatu hukum tertentu pada suatu masalah tertentu dan ada suatu dalil yang lain yang menunjukkan hukum yang lain pada masalah tersebut.

2)      PENJELASAN
Kontradiksi itu tidak mungkin terjadi pada hakekatnya pada nash-nash syari’at. Tetapi hal itu tidak mustahil jika dipanda dari sisi pendapat-pendapat para mujtahid. Karena pikiran-pikiran dna pemahaman-pemahaman mereka dilingkupi oleh kelemahan.

3)      BENTUK-BENTUK YANG MUNGKIN TERJADI KONTRADIKSI DAN TARJIH
BENTUK PERTAMA : JIKA KEDUA DALIL ITU SAMA KUATNYA
1.      Contoh
Misalnya dua ayat dari Al Qur’an atau dua buah hadits.

2.      Keadaan-keadaan nash-nash yang kontradiksi
a.       jika sejarahnya diketahui
1)      Hukumnya adalah dalil yang terakhir adalah menasakh dalil yang terdahulu.
2)      Contohnya adalah iddah wanita yang ditinggal mati suaminya.
a)            Firman Allah : وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا وَصِيَّةً لِأَزْوَاجِهِمْ مَتَاعًا إِلَى الْحَوْلِ غَيْرَ إِخْرَاجٍ  (Dan orang-orang yang akan meninggal dunia di antaramu dan meninggalkan isteri, hendaklah berwasiat untuk isteri-isterinya, (yaitu) diberi nafkah hingga setahun lamanya dengan tidak disuruh pindah (dari rumahnya)i. (Al Bqoroh : 240)
b)            Firman Allah : وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا  (Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari). (Al Baqoroh : 234)
Ayat pertama diturunkan pada permulaan Islam sedangkan ayat yang kedua turun kemudian. Maka jadilah ayat yang kedua itu menasakh ayat yang pertama.

b.      jika sejarahnya tidak diketahui
1)      Hukumnya adalah seorang mujtahid harus menggunakan salah satu metode tarjih yang mungkin.
2)      Contoh dan penjelasan metode-metode tarjih
a)      Nash itu lebih didahulukan (ditarjihkan) daripada yang dzahir
i)        Yang Dzahir
Setelah menjelaskan wanita-wanita yang haram dinikahi Allah berfirman : وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ (dan dihalalkan bagi kalian selain itu).(An Nisa’ : 24). Yang dzahir dari ayat ini adalah boleh menikah lebih dari empat istri.

ii)       Nash yang berlawanan
Firman Allah : فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ  (maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat). (An Nisa’ : 3).
Maka nash ini menegaskan haram menikahi lebih dari empat. Maka inilah yang rajih (kuat, didahulukan).

b)      Yang mufassar lebih didahuukan daripada nash
i)      Nash
Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam tentang wanita yang istihadlah : “Wanita yang istihadla itu berwudlu setiap kali shalat”.[2] Maka nash ini mengharuskan wanita itu untuk berwudlu untuk setiap kali shalat, walaupun dalam satu waktu.

ii)    Yang Mufassar
Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam riwayat yang kedua : “Wanita yang istihadlah itu berwudlu di setiap waktu untuk setiap shalat”. Maksudnya adalah bahwa wanita itu berwudlu satu kali untuk setiap waktu, wlauapun dia melakukan lebih dari satu kali shalat di waktu itu.

c)      Yang muhkam lebih didahulukan daripada yang lainnya, seperti dzahir, nash dan mufassar.
i)       Yang Nash
Firman Allah tentang wanita-wanita yang haram dinikahi di atas : : وَأُحِلَّ لَكُمْ مَا وَرَاءَ ذَلِكُمْ (dan dihalalkan bagi kalian selain itu).(An Nisa’ : 24). Maka nash ayat ini mencakup kebolehan menikahi para istri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau meninggal dunia.

ii)      Yang Muhkam
Firman Allah tentang larangan menikahi para istri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : وَمَا كَانَ لَكُمْ أَنْ تُؤْذُوا رَسُولَ اللَّهِ وَلَا أَنْ تَنْكِحُوا أَزْوَاجَهُ مِنْ بَعْدِهِ أَبَدًا  (Dan tidak boleh kamu menyakiti (hati) Rasulullah dan tidak (pula) mengawini isteri-isterinya selama-lamanya sesudah ia wafat). (Al Ahzab : 53)
Maka ini adalah sebuah nash yang muhkam dalam pengharaman menikahi istri-istri Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah beliau wafat.

d)      Hukum yang tetap berdasarkan ‘ibarat nash lebih didahulukan daripada hukum yang tetap berdasarkan isyarat nash.
i)      Hukum yang tetap berdasarkan isyarat nash adalah firman Allah : وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا  (Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya). (An Nisa’ : 93). Maka isyarat nash bahwa pembunuh yang sengaja itu tidak harus dihukum, berdasarkan kepada sebuah kaidah bahwa pembatasan pada tempat yang seharuskan dijelaskan secara rinci adalah menunjukkan adanya pengkhususan.

ii)    Hukum yang tetap berdasarkan ‘ibarat nash adaalah firman Allah : يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى  (Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh). (Al Baqoroh : 178)

e)      Hukum yang tetap berdasarkan isyarat nash lebih didahulukan daripada yang tetap berdasarkan dilalahnya.
i)       Hukum yang tetap berdasarkan dilalah nash adalah firman Allah : وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ  (dan barangsiapa membunuh seorang mu’min karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman). (An Nisa’ : 92).
Maka dari ibarat nash ini dipahami bahwa orang yang melakukan pembunuhan dengan tidak sengaja itu harus membayar kafarat. Dan dipahami dari dilalah  nashnya orang yang melakukan pembunuhan dengan sengaja juga wajib membayarnya. Karena ini lebih berat daripada pembunuhan yang tidak sengaja.

ii)      Hukum yang tetap berdasarkan isyarat nash adalah firman Allah : : وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا  (Dan barangsiapa yang membunuh seorang mu’min dengan sengaja, maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya). (An Nisa’ : 93).
Maka dari isyarat nash dipahami bahwa pembunuh dengan senagja itu tidak harus membayar kafarat apapun di dunia. Karena ayat itu hanya menyebutkan hukuman berupa keabadian di neraka. Pembatasan pada tempat yang seharusnya dijelaskan secara rinci ini menunjukkan bahwa dia tidak mendapatkan hukuman apapun selain hukuman itu.

f)        Makna yang manthuq lebih didahulukan makna yang mafhum.
i)       Yang mafhum adalah firman Allah : يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا لَا تَأْكُلُوا الرِّبَا أَضْعَافًا مُضَاعَفَةً  (Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu memakan riba dengan berlipat ganda). (Ali Imran : 130)
ii)      Yang manthuq adalah firman Allah : وَإِنْ تُبْتُمْ فَلَكُمْ رُءُوسُ أَمْوَالِكُمْ لَا تَظْلِمُونَ وَلَا تُظْلَمُونَ  (Dan jika kamu bertaubat (dari pengambilan riba), maka bagimu pokok hartamu; kamu tidak menganiaya dan tidak (pula) dianiaya). (Al Baqoroh : 279).
Maka manthuq dari ayat ini adalah mengharamkan riba, walaupun sedikit. Maka inilah yang didahulukan di sini.

c.       jika nasakh itu tidak mungkin diketahui dan tarjih tidak ada
1)      Maka tarjihnya adalah dengan mengumpulkan dan melakukan persesuaian anatra kedua dalil itu
2)      Contohnya adalah iddah wanita yang ditinggal mati oleh suaminya.
a)      Nash-nash yang ada
i)       Firman Allah : وَالَّذِينَ يُتَوَفَّوْنَ مِنْكُمْ وَيَذَرُونَ أَزْوَاجًا يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا  (Orang-orang yang meninggal dunia di antaramu dengan meninggalkan isteri-isteri (hendaklah para isteri itu) menangguhkan dirinya (ber`iddah) empat bulan sepuluh hari). (Al Baqoroh : 234)
ii)      Firman Allah : وَأُولَاتُ الْأَحْمَالِ أَجَلُهُنَّ أَنْ يَضَعْنَ حَمْلَهُنَّ  (Dan perempuan-perempuan yang hamil, waktu iddah mereka itu ialah sampai mereka melahirkan kandungannya). (Ath Thalaq : 4)

b)      Metode melakukan penyesuaian antara keduanya
i)       Jika wanita itu melakukkan iddah yang paling panjang diantara keduanya.
ii)      Jika masing-masing dalil itu ditempatkan pada masing-masing tempatnya.

BENTUK KEDUA : JIKA DUA DALIL ITU BERBEDA KEKUATANNYA

1.      Hukumnya adalah dalil yang kuat lebih didahulukan
2.      Metode mengetahui tartjih berdasarkan dalil yang kuat.
a.       Nash Al Qur’an dan Sunnah yang shahih lebih didahulukan daripada qiyas. Karena qiyas adalah dalil yang dzanni dan tidak dapat dipakai selama masih ada nash.
b.      Ijmak lebih didahulukan daripada analogi qiyas. Karena ijmak adalah dalil yang qoth’i dan qiyas adalah dalil yang dzanni. Dan yang dznni itu tidak mungkin mendahului yang qoth’i.
c.       Jika ada dua qiyas yang saling berlawanan, maka yang dipakai adalah qiyas yang paling kuat, yaitu ketika illatnya berdasarkan nash misalnya.

D. KETIKA TARJIH TIDAK MUNGKIN
  1. Hukumnya adalah bahwa seorang mujtahid itu harus berpindah kepada dalil yang leih rendah urutannya.
  2. Penjelasannya adalah jika ada dua dalil yang saling kontradiksi dan tarjih itu tidak mungkin dilakukan, maka seorang mujtahi itu berpindah kepada qiyas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar