Minggu, 19 Juni 2011

QIYAS (bagian kedua)



Pelajaran ini adalah lanjutan dari pelajaran ushul fiqih sebelumnya, yaitu tentang qiyas. Di sini kita akan membahas tentang permasalahan illat hukum yang merupakan inti dari permasalahan yang boleh diqiyaskan dan yang tidak boleh diqiyaskan.

1.      DEFINISNYA
Yaitu suatu sifat yang ada pada asal dan yang karenanya hukum itu disyari’atkan dan karena keberadaannya pada cabang maka dikehendakilah penyamaannya dengan asa pada hukum ini.

2.      PERBEDAAN ANTARA ILLAT DAN HIKMAH
a.    Hikmah hukum
                                 1)          Definisinya
Yaitu kemashlahatan yang berupa mengambil manfaat atau menghindarkan kemudlaratan yang hendak diwujudkan oleh syari’at dengan mensyari’atkan hukum itu. Itu adalah merupakan tujuan dari syari’at yang paling agung.

                                 2)          Ciri-cirinya
a)    tidak bergantung kepada hukum, baik keberadaan atau ketidakadaanya. Hal itu adalah kerena hikmah itu kadang-kadang berupa sesutau yang samar yang sulit untuk diketahui dan tidak dijadikan sebagai dasar untuk membangun sebuah hukum.
b)   Tidak terkontrol, dalam pengertian bahwa manusia berbeda-beda tentang keberadaan atau ketidak adaannya dan dalam kaidah-kaidahnya. Contohnya adalah seperti kebolehan berbuka puasa pada Bulan ramadlan. Hikmahnya adalah untuk menghilangkan kesulitan. Sedangkan kesulitan itu adalah sesuatu yang bersifat perkiraan yang tidak dapat dijelaskan kaidahnya. Karena itulah hukum itu tidak bergantung kepadanya. Tetapi bergantung kepada seautu yang jelas, yaitu bepergian (safar) atau sakit, karena jelasnya nash tentangnya.

                                 3)          Dalilnya
Firman Allah : وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَاأُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ  (Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa). (Al baqqoroh : 179)

b.    Illat hukum
                                 1)          Definisinya
Yaitu suatu sifat yang jelas yang berada dibawah suatu kaidah yang merupakan dasar dibangunnya suatu hukum dan ada atau tidaknya hukum itu tergantung kepadanya.

                                 2)          Ciri-cirinya
a)    illat itu berkaitan dengan hukum, baik ada atau tidak adanya hukum itu. Karena keterkaitan hukum dengan hikmah itu mengandung dugaan untuk mewujudkan hikmah dari hukum itu.
b)   Mengaitkan antara illat dengan  hukum itu mengakibatkan kepada konsistennya taklif, menjaga hukum-hukum syari’at dan perinta-perintah syari’at yang umum.

3.      SYARAT-SYARAT ILLAT
a.    yaitu harus berupa suatu sifat yang tunduk pada satu kaidah, maksudnya adalah sifat itu jelas, tidak berbeda dari manusia yang satu kepada yang lainnya dan dari situasi dan kondisi yang satu kepada yang lainnya. Contohnya adalah pembunuhan sebagai illat seorang pembunuh tidak mendapatkan warisan.
b.    Illat itu harus berupa sifat yang dapat diperluas, maksudnya adalah sifat itu tidak hanya khusus bagi asal saja. Karena dasar qiyas adalah kesamaan cabang dengan asal pada illat hukum. Contoh illat yang terbatas adalah safar sebagai illat kebolehan berbuka puasa bagi orang yang bepergian. Illat itu tidak dapat diperluas kepada pekerja pertambangan misalnya, walaupun dia harus menanggung kesulitan yang besar.
c.    Illat itu harus berupa sifat-sifat yang tidak dinafikan oleh syari’at, yaitu bahwa kadang-kadang suatu sifat itu cocok bagi suatu hukum, tetapi sifat itu sebenarnya bertentangan dengan nash dan berlawanan dengan dalil syari’at. Maka sifat itu tidak dapat dianggap sebagai illat. Contohnya adalah penyamaan antara anak laki-laki dan perempuan dalam pewarisan berdasarkan illatnya sebagai anak. Ini adalah salah. Karena syari’at menafikan sifat yang diusulkan ini berdasarkan firman Allah : يُوصِيكُمُ اللَّهُ فِي أَوْلَادِكُمْ لِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْأُنْثَيَيْنِ  (Allah mensyari`atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan). (An Nisa’ : 11)
d.    Illat itu harus berupa sifat yang sesuai (munasib) dengan hukum
                                 1)          Maksud dari syarat ini
Mengaitkan hukum dengannya adalah merupakan dugaan untuk mewujudkan hikmah dari hukum itu.
                                 2)          Contohnya
Pembunuhan yang sengaja adalah suatu sifat yang sesuai yang cocok untuk mengaitkan hukuman qishosh dengannya. Karena tujuan pengaitan ini adalah untuk mewujudkan hikmah pensyari’atan hukum, yaitu menekan sekecil munkin permusuhan diantara manusia dan menjaga jiwa manusia dari kemusnahan.
                                 3)          Yang dibangu di atas syarat ini
Berdasarkan syarat ini, maka tidak boleh membuat suatu illat dengan sifat-sifat yang tidak ada persesuaiannya dengan hukum, yaitu yang disebut al aushof ath thordiyah (sifat-sifat yang ditolak), seperti warna khamar dan keadaanya yang cair.
                                 4)          Kaidah-kaidah sifat yang sesuai dari sisi diterima atau tidaknya dengan urutan ke bawah.
a)    Al Munasib Al Mu’atsir (Yang sesuai yang berpengaruh)
i)      Definisinya
Yaitu suatu sifat yang ditunjukkan oleh syari’at seacra tegas sebagai illat

ii)    Sebab penamaannya
Karena syari’at menamainya sebagai illat dengan penamaan yang sempurna, seolah-olah dia menunjukkan bahwa hukum itu bersumber darinya atau bahwa hukum itu adalah merupakan salah satu akibat darinya.

iii)   Contoh Praktek
v           Nash
Firman Allah : وَيَسْأَلُونَكَ عَنِ الْمَحِيضِ قُلْ هُوَ أَذًى فَاعْتَزِلُوا النِّسَاءَ فِي الْمَحِيضِ (Mereka bertanya kepadamu tentang haidh. Katakanlah: “Haidh itu adalah kotoran”. Oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haidh). (Al baqoroh : 222)

v           Hukum
Pewajiban menjauhi wanita pada waktu haid.

v           Illat hukum
Kotoran yang merupakan sebuah sifat yang berpengaruh yang ditegaskan di dalam nash itu.


b)   Al Munasib Al Mula’im (Yang sesuai yang cocok)
i)      Definisinya
Yaitu sebuah sifat yang tidak disebutkan oleh dalil syari’at dengan tegas sebagai illat hukum. Tetapi ada dalil syari’at yang lain, baik berupa nash atau ijmak yang menunjukkanya sebagai illat, bukan sebagai hukum.

ii)    Sebab penamaannya
Yaitu bahwa seorang mujtahid itu jika menjelaskan suatu ilat hukum syari’at dengan illat ini, maka sunggguhnya merupakan sesuatu yang patut jika illatnya itu adalah cocok dengan metode syari’at dalam menjelaskan illat untuk membangun sebuah hukum.

iii)   Penjelasan
Contoh ini adalah menurut Madzhab Hanafi. Mereka berpendapat bahwa perwalian bapak untuk menikahkan anak perempuannya yang perawan itu adalah karena illat kecilnya, bukan karena keperawanannya. Dalilnya dalah bahwa syari’at menjadikan sifat ini –sifat kecil ini- sebagai sebuah sifat yang diperhatikan di dalam perwalian harta. Sedangkan perwalian pernikahan dan perwalian harta adalah satu jenis, yaitu perwalian secara mutlak. Maka seolah-olah syariat menjadikan kecil itu sebagai illat pada setiap jenis perwalian.

c)    Al Munasib Al Mursal (Al Mashlahah Al Mursalah).
i)      Definisinya
Yaitu sebuah sifat yang tidak ditunjukkan oleh nash yang khusus, baik yang menetapkannya atau yang meniadakannya. Tetapi pembentukan hukum atas sifat itu dapat mewujudkan adanya kemashlahatan yang ditunjukkan oleh syari’at yang umum secara global.

ii)    Sebab penamaannya
Yaitu bahwa ditinjau dari sisi bahwa dia dapat mewujudkan kemashlahatan dari kemashlahatan-kemashlahatan syaria’at secara umum adalah  (munasib) cocok dan dari sisi bahwa sifat itu tidak ditunjukkan oleh suatu dalil maka dia adalah mursal (terlepas).

iii)   Kehujjahannya
Ini adalah hujjah menurut Madhab Maliki dan Hanbali dan bukan merupakan hujjah di dalam Madzhab Hanafi dan Syafi’i.

iv)  Contohnya
Pengumpulan Al Qur’an, pembangunan penjara-penjara.


4.      METODE UNTUK MENGETAHUI ILLAT
a.    melalui jalur nash
                                 1)          Penunjukan yang jelas atas suatu illat
a)    Penunjukan yang bersifat qath’i (tegas)
i)      Kata-kata yang digunakan adalah segala sesuatu yang di dalam bahasa menunjukkan penjelasan sebab, seperti لِكَيْلاَ  atau لأجْلِ   (agar).
ii)    Contohnya adalah firman Allah : رُسُلًا مُبَشِّرِينَ وَمُنْذِرِينَ لِئَلَّا يَكُونَ لِلنَّاسِ عَلَى اللَّهِ حُجَّةٌ بَعْدَ الرُّسُلِ وَكَانَ اللَّهُ عَزِيزًا حَكِيمًا   ((Mereka kami utus) selaku rasul-rasul pembawa berita gembira dan pemberi peringatan agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu. Dan adalah Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana). (An Nisa’ : 165). Maka nash itu dengan tegas menyebutkan bahwa illat pengutusan para rasul adalah agar supaya tidak ada alasan bagi manusia membantah Allah sesudah diutusnya rasul-rasul itu

b)   Penunjukkan yang dzanni (dugaan)
i)      Definisinya adalah bahwa nash menunjukkan kepada illat itu tetapi masih mungkin mengandung penafisran yang yang lain yang tidak kuat.
ii)    Firman Allah : الر كِتَابٌ أَنْزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ  (Alif, laam raa. (Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji). (Ibrahim : 1) Maka Huruf lam pada لِتُخْرِجَ  (agar kamu mengeluarkan) adalah menunjukkan illat, walaupun mungkin juga menunjukkan makna penjelasan akibat.

                                 2)          Penunjukkan yang bersifat pemberitahuan dan isyarat
a)    Maksudnya adalah bahwa nash itu tidak menunjukkan secara tegas kepada suatu illat. Tetapi dia mengisyaratkan kepada suatu illat dan menyiratkannya.
b)   Contohnya adalah adanya sebuah kalimat yang ditegaskan dengan kata إنَّ   (sesungguhnya) setelah kalimat itu menjelaskan sebuah hukum. Seperti sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam kepada orang yang bertanya kepadanya tentang sisa air minum kucing : “Sesungguhnya air itu tidak najis. Sesungguhnya itu adalah diantara hewan-hewan yang selalu mengelilingimu”.[1]

b.    melalui jalur ijmak
Ini akan dijelaskan kemudian.

c.    As Sabr wat Taqsim
                                 1)          Definisinya
Kata As sabr itu maknanya adalah ujian. Dan makna taqsim adalah bahwa seorang mujtahid itu menyebutkan dan membatasi sifat-sifat yang dia pandang layak untuk menjadi suatu illat hukum, kemudian dia mengkajinya dengan teliti, menguji dan memikirkan, kemudian dia membuang sifat-sifat yang dipadangnya tidak layak untuk ditetapkan dan hanya tertinggal satu sifat yang layak sehingga dia menemukan illat hukum, dengan memperhatikan syarat-syarat illat.

                                 2)          Catatan
Penafisran-penafsiran para mujtahidin berbeda-beda dalam aktifitas ini. Karena itulah mereka berbeda-beda pendapatnya di dalam masalah-masalah furu’ fiqih.





[1] Diriwayatkan oleh Abu Dawud ( 76) di dalam bab Thaharah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar