Minggu, 19 Juni 2011

MEWASPADAI FITNAH AGAMA (MENGADU DOMBA UMAT ISLAM)

MENANGGAPI SELEBARAN MENJELANG RAMADHAN 1427 H / 2006 M YANG MENGATASNAMAKAN FATWA ULAMA’ NU JOMBANG
Fatwa yang tidak jelas tujuan dan sumbernya, karena tanpa disertai hujjah Al-Qur’an maupun Al-Hadits


Assalaamu’alaikum Wr. Wb
 
Rasulullah saw bersabda, ”Akan keluar suatu kaum di akhir zaman orang-orang muda berpaham jelek. Mereka banyak mengucapkan perkataan “Khairil bariyyah” (tentang firman-firman Tuhan yang dibawa Nabi saw). Iman mereka tidak melampaui kerongkongan mereka. Mereka keluar dari agama sebagaimana meluncurnya anak panah dari busurnya. Kalau kamu sekalian berjumpa dengan mereka, perangilah dan lawanlah mereka.” (HR. Bukhari)[1]

Rasulullah saw bersabda, “Maka bahwasannya yang hidup diantaramu sesudahku, niscaya akan melihat perselisihan (paham) yang banyak. Maka ketika itu (wajib) atas kalian berpegang teguhlah atas sunnahku dan Sunnah Khulafaur Rasyidin (Abu Bakar ra, Umar ra, Utsman ra, dan Ali ra) yang diberi hidayah. Pegang teguhlah dan gigitlah dengan gerahammu.” (HR. Abu Daud)[2]

Pembaca yang mulia
Menjelang Ramadhan 1427 H / 2006 tahun ini penulis mendapat selebaran yang mengaku dikutip sesuai aslinya dari Buletin Mimbar Da’wah, dan diedarkan di Masjid dan Mushalla yang mengatasnamakan “Fatwa Ulama NU Jombang.” Fatwa tersebut tertanggal 1 Ramadhan 1423 H, dimana isinya bagi masyarakat awam pada umumnya akan menimbulkan suatu pertanyaan, “Manakah yang dibenarkan dan yang tidak, antara kebiasaan masyarakat umum dalam beribadah maupun mu’amalah dengan fatwa tersebut?” Anehnya, nama-nama ulama yang tercantum dalam fatwa tersebut ketika penulis tanyakan kepada teman yang pernah lama belajar agama disana tidak mengenalnya, dan kalaupun benar, berarti teman dan ulama tersebut tidak atau belum kenal.

                Oleh karena itu, penulis ingin menanggapinya meskipun penuh keterbatasan pemahaman tentang agama. Tidak ada niat lain dalam hal ini, kecuali mencoba menyampaikan hujjah-hujjah yang penulis ketahui berkaitan dengan fatwa tersebut. Kemudian harapannya jika hujjah-hujjah yang penulis sampaikan tidak kuat bahkan salah, mohon para pembaca membenarkan dan meluruskannya.

                Adapun fatwa-fatwa yang membingungkan tersebut yang katanya kurang sesuai dengan syari’at islam ialah sebagai berikut:

FATWA DALAM HAL SHALAT
  1. Agar meninggalkan kebiasaan membaca “Ushalli” dengan suara keras, karena niat itu pekerjaan hati.
  2. Ba’da shalat, imam tidak perlu membaca wirid, zikir suara keras, cukup dalam hati saja. Imam ba’da shalat tidak perlu memimpin do’a bersama jama’ah. Imam dan jama’ah berdo’a sendiri-sendiri dalam hati.
  3. Jama’ah ba’da shalat tidak perlu mencium tangan imam, cukup salaman saja.
  4. Dalam shalat subuh imam tidak perlu membaca qunut, kecuali bila ada sesuatu bahaya yang terhadap kehidupan umat islam secara keseluruhan.
  5. Do’a qunut boleh dibaca disetiap shalat, bila ada keperluan yang bersifat darurat, tidak hanya dalam shalat shubuh.
  6. Shalat rawatib / shalat sunnah qabliah / ba’diah sebagai berikut: qabla shubuh, qabla dan ba’da zhuhur, shalat ashar tidak ada rawatib, ba’da maghrib dan ba’da isya’.

TANGGAPAN PENULIS
  1. Benar, bahwa berniat dalam segala ibadah itu harus berada dalam hati, tidak cukup diucapkan dengan lisannya, sedang hatinya lalai. Akan tetapi penulis belum menemukan ayat maupun hadits tentang larangan niat maupun yang membolehkan dengan suara jahr (keras), itu hanya hujjah para ulama’.[3] Sunnah hukumnya melafazhkan niat misal, “Ushallii fardhozh zhuhri…” menurit Imam Syafi’i dan Hambali, karena niat dengan lisan akan mengingatkan hati. Namun sesungguhnya niat itu didalam hati, dan mengucapkan niat hanya untuk mengingatkan hati. Sedang yang menganggap hal itu tidak disyari’atkan, sepertinya dia mengikuti hujjah Imam Maliki dan Hanafi, dan bukan didapat dari ayat maupun hadits?[4]
  2. Benar, wirid dan zikir imam habis shalat tidak perlu keras, jika mengganggu orang yang sedang shalat (hujjah Ulama). Tetapi tidak ada salahnya penulis mengutip beberapa hadits baik dari ‘Aisyah, Ibnu Abbas, Mu’awiyah, Abdul Malik bin ‘Umair dan lainnya dengan memakai kalimat “Aku mengetahui” atau “Aku mendengar” bacaan-bacaan (dzikir Rasulullah). [5] Dengat kalimat tersebut memberi arti bahwa dzikir Rasulullah saw dizhahirkan (terdengar) bukan didalam hati saja. Sedangkan jika dikatakan imam tidak perlu berdo’a bersama jama’ah, cukup sendiri-sendiri, penulis akan mengutip sebuah hadits, Rasulullah saw bersabda, “Tidaklah seorang hamba yang mengimami suatu kaum, dan berdo’a khusus untuk dirinya sendiri tidak untuk yang lainnya dari kaum tersebut, jika dia melakukan, maka sungguh telah berkhiyanat kepada mereka.” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud) Ketika Ali bin Abu Thalib berdo’a untuk dirinya sendiri, maka Rasulullah saw menepuk punggungnya dan bersabda, “Berdo’alah untuk orang banyak, janganlah engkau khususkan untuk dirimu saja, karena sesungguhnya antara umum dan khusus itu adalah bagaikan antara langit dan bumi.” (HR. Dailami)[6]
  3. Benar, mencium tangan imam tidak dianjurkan. Tapi mencium tangan itu boleh, termasuk tangan imam. Dari Al-Wazi’ bin Amir berkata, “Ketika kami tiba di Madinah, ada yang memberitahukan keberadaan Rasulullah saw. Maka kami mendekati beliau, lalu kami memegang tangan dan kaki beliau da menciumnya.” (HR. Bukhari)[7] penulis belum menemukan hujjah yang melarang.
  4. Masalah qunut shubuh itu banyak pendapat.
    • Hanafiyah (Madzhab Hanafi) tidak ada qunut kecuali hanya pada shalat witir dan ketika terjadi suatu musibah besar[8]).
    • Hanabilah (Madzhab Hambali) makruh hukumnya do’a qunut selain pada shalat witir atau ketika terjadi musibah besar yang dibaca pada setiap shalat lima waktu kecuali shalat jum’at, dan selain musibah Tha’un (angin besar[9]).
    • Malikiyah (Madzhab Maliki) sunat hukumnya do’a qunut pada tiap shalat shubuh dilakukan sebelum ruku’, dan tidak ada do’a qunut didalam shalat witir[10]).
    • Syafi’iyah (Madzhab Syafi’i) sunat hukumnya do’a qunut pada tiap shalat shubuh dilakukan sesudah ruku’, dan apabila terlupakan disunahkan sujud sahwi[11]).
Adapun hujjah terjadinya khilafiyah qunut shubuh sbb:
    • Imam Bukhari dan Muslim mentakhrij dari Ibnu Sirin[12]), Muslim dan Abu Daud mentakhrij dari Anas bin Malik ra. Seseorang bertanya kepada Anas bin Malik, “Apakah Rasulullah berqunut pada shalat shubuh ? Anas bin Malik menjawab, “Ya, setelah ruku’ sebentar[13]).” (HR. Bukhari, Muslim dan Abu Daud)
    • Dari Abu Hurairah ra, bahwa Rasulullah berqunut pada shalat shubuh, namun setelah turun QS. Al-Imran : 128 maka beliau meninggalkannya[14]). (HR. Muslim)
    • Dari Anas bin Malik ra, bahwasanya Nabi saw pernah berqunut sebulan lamanya. Ia berdo’a atas orang-orang yang terbunuh, kemudian meninggalkannya. Adapun pada sembahyang shubuh, senantiasa Ia berqunut sampai beliau meninggal dunia[15] (HR. Jama’atul Huffazh (Jama’ah Penghafal Hadits). Hadits ini yang dipakai madzhab Syafi’i dan madzhab Maliki
    • Imam Muslim mentakhrij dari Al-Barra’ ra dan Bukhari mentakhrij dari Anas bin Malik ra, bahwa Rasulullah saw berqunut pada sembahyang shubuh dan maghrib[16] (HR. Bukhari Muslim)
    • Dari Abi Hurairah ra, bahwasanya Rasulullah saw adalah ketika ia mengangkat kepalanya dari ruku’ pada shalat shubuh di rakaat yang kedua ia angkat kedua belah tangannya lalu berdo’a dengan do’a ini, “ALLAAHUMMAH DINII FII MAN HADAITA, WA ‘AAFINII FII MAN ‘AFAITA,...... hingga akhir hadits[17]).”  (HR.. Al-Hakim)
  1. Qunut yang diperuntukkan dalam keadaan dharurat adalah qunut nazilah, bukan qunut shubuh atau witir. Qunut nazilah latar belakangnya sbb:
                                Amir bin Malik yang dikenal dengan sebutan Mula’ibul Asnah datang kepada Nabi saw. Kemudian Nabi menawarkan islam kepadanya. Tetapi dia tidak menerima juga tidak menolak islam. Dia hanya berkata kepada Nabi saw, “Hai Muhammad, utuslah beberapa orang ke Nejd untuk berdakwah di sana. Saya yakin mereka akan menyambut agamamu!.” Nabi menjawab, “Aku khawatir penduduk Nejd akan menyerang mereka.” Kata Amir, “Utuslah saja, aku akan melindungi dan menjamin mereka. Biarlah mereka mengajak kepada agamamu.”

                                Kemudian Nabi saw mengutus 70 sahabat pilihannya. Pengiriman para da’i ini, menurut riwayat Ibnu Ishaq dan Ibnu Katsir, dilakukan empat bulan setelah perang Uhud. Maka berangkatlah mereka sampai ke Bi’ru Ma’unah (nama sebuah desa). Ketika sampai ditempat tersebut, diutuslah Haram bin Milhan salah seorang dari delegasi da’i itu untuk menyampaikan surat dari Nabi saw kepada Amir bin Thufail. Belum sampai surat itu dibacanya, Amir bin Thufail langsung membunuh Haram bin Milhan. Menurut riwayat Bukhari dari Anas bin Malik bahwa Haram bin Milhan ditikam sampai darahnya mengenahi muka Amir bin Thufail dan ia berkata, “Demi Tuhan Ka’bah, aku telah sukses[18]).”

                                Kemudian Amir bin Thufail menggerakkan Bani Amir untuk menyerang para da’i yang lainnya, tetapi Bani Amir menolak dan berkata, “Kami tidak akan menghiyanati Abu Barra’ (Amir bin Malik).” Lalu Amir bin Thufail meminta bantuan kepada kabilah-kabilah Sulaim dari suku ‘Ushayyah, Ra’l dan Dzakwan. Kabilah-kabilah inilah yang selanjutnya mengepung dan menyerang para da’i sehingga tidak berdaya dan semuanya gugur kecuali dua orang, salah satunya bernama Amir bin Umayyah Adh-Dhamiri[19]). Amir bin Umayyah Adh-Dhamiri berhasil lolos dan lari ke bukit selanjutnya kembali ke Madinah. Ditengah perjalanan dia bertemu dua orang musyrik yang disangkanya dari Bani Amir, lalu dua orang itu dibunuhnya. Dan ternyata dua orang tersebut adalah dari Bani Kilab yang telah mendapatkan jaminan keamanan dari Nabi saw. Atas kesalahan tersebut kemudian Nabi bersabda, “ Engkau telah (salah) membunuh dua orang. Aku akan membayar diyatnya (dendanya).”

                                Rasulullah merasakan kesedihan para syuhada delegasi da’i yang semuanya adalah sahabat pilihan, sehingga selama sebulan penuh Rasulullah saw  melakukan qunut nazilah untuk mendo’akan keselamatan Walid bin Walid, Salamah bin Hisyam, ‘Iyasy bin Abi Rabi’ah dan orang-orang mukmin yang lemah dan tertindas. Kemudian Rasul juga mendo’akan kecelakaan (melaknat)  kabilah Ra’l, Dzakwan, Bani Lihyan dan ‘Ushayyah[20]), kemudian meninggalkannya setelah turun ayat, “Tak ada sedikit pun campur tanganmu dalam urusan mereka itu[21]), atau Allah menerima taubat mereka, atau mengazab mereka, karena sesungguhnya mereka itu orang-orang dzalim.” (QS. Al-Imran : 128)

                Dalam hadits diatas jelaslah, bahwa seorang yang membaca qunut nazilah itu dilarang Allah mengucapkan do’a yang berarti “kutukan.” Sebab kutukan atau ampunan itu hanya urusan Tuhan, hak Allah semata dan bukan urusan manusia. Hanya yang dibolehkan supaya berlindung kepada Allah dari bahaya saja[22]).

  1. Jika dikatakan shalat ashar rawatib tidak ada, sebelum magrib dan isya’ juga, penulis kutipkan beberapa hujjah. Dari Ali bin Abi Thalib ra berkata, “Sesungguhnya Nabi saw melakukan shalat 4 rakaat sebelum ashar.” (HR. Tirmidzi dengan sanad yang hasan) “Sesungguhnya Nabi saw melakukan shalat sunat dua rakaat sebelum ashar.” (HR. Abu Daud dengan sanad shahih) Dari Anas bin Malik ra berkata, “Kami pernah melakukan shalat dua rakaat sebelum maghrib, ketika ditanyakan apakah Rasul pernah melakukannya? Maka dia menjawab, “Adalah Nabi melihat kami mengerjakannya, dan beliau tidak menyuruh maupun melarangnya.” (HR. Muslim)[23] Adapun qabla ‘Isya boleh dilakukan berdasarkan hadits dari Abdullah bin Mughaffal ra berkata, “Rasulullah saw bersabda, “Antara tiap-tiap dua azdan (Adzan dan Iqamat) ada shalat, tiap-tiap dua azdan ada shalat, tiap-tiap dua azdan ada shalat”, dan beliau berkata pada yang ketiga kalinya, “Bagi siapa yang menghendakinya.” (HR. Bukhari Muslim)[24]

FATWA DALAM SHALAT JUM’AT
  1. Sebelum khatib naik mimbar, tidak ada adzan dan tidak ada shalat sunat sebelum jum’at.
  2. Ketika khatib duduk diantara dua khuthbah tidak ada shalawat.
  3. Ba’da shalat jum’at imam tidak berkewajiban memimpin do’a bagi makmum dengan suara kuat, silahkan imam dan makmum berdzikir dan wirid sendiri-sendiri.
  4. Dalam shalat jum’at tongkat yang selama ini yang dipakai oleh khatib, bukan merupakan sarana ibadah, hanya kebiasaan dari khalifah Utsman ra, sekarang dapat ditinggalkan.
  5. Sebelum khatib naik mimbar, tidak perlu pakai pengantar atupun membaca hadits Nabi saw, tetapi sampaikan bersamaan dengan bersamaan dengan petugas masjid menyampaikan laporan keuangan, petugas yang menjadi khatib dan imam, karena itu bukan proses ibadah jum’at.

TANGGAPAN PENULIS
  1. Adzan sebelum khatib naik mimbar ada hujjahnya. Dari Saib bin Yazid ra berkata, “Adalah adzan di hari jum’at pada mulanya di jaman Rasulullah saw, Abu Bakar dan Umar ra pada waktu khatib telah naik mimbar,. Maka ketika masa Utsman ra, dan manusia makin banyak, ditambahkanlah adzan yang ketiga, yaitu diatas Zaura’ (adzan ketiga adalah sebelum khatib naik mimbar, kedua setelahnya, dan adzan yang pertama iqamat) (HR. Bukhari)[25] Sedangkan hujjah tentang sunnat qabla jumat ialah dari Ibnu Umar ra, bahwasanya ia telah memanjangkan shalat dua rakaat sebelum dan sesudah shalat jum’at, dan ia bercerita bahwa Rasulullah saw selalu mengerjakan hal itu.” (HR. Abu Daud)[26]
  2. Penulis belum menemukan hujjah larangan dan kebolehan bershalawat antara dua khuthbah. Namun begitu banyaknya keutamaan membaca shalawat. Dan pada hakekatnya membaca shalawat dibolehkan kapan dan dimana saja, kecuali ditempat atau waktu yang dilarang.
  3. Mengenai do’a imam bersama makmum serta dzikir dan wirid telah penulis jelaskan hujjahnya dalam hal shalat nomor 2.
  4. Tongkat bukan kebiasaan khalifah Utsman ra semata, tetapi juga dilakukan Rasulullah saw. Dari Hakim bin Khazan ra berkata, “Aku pernah diutus kepada Nabi saw, maka kami pergi dengan beliau shalat jum’at, lalu beliau (ketika khuthbah) berpegangan sebuah tombak atau tongkat. Kemudian beliau memuji Allah dan menyanjungnya dengan kalimat yang sderhana yang mengandung berkah.” (HR. Abu Daud dengan sanad shahih)[27]
  5. Penulis belum menemukan hujjah larangan dan kebolehan pengantar (bilal)  sebelum khuthbah. Namun kalau hal itu dilarang, apa bedanya dengan petugas masjid bicara? Membaca hadits tentang larangan berbicara itu banyak hikmahnya, karena tidak semua jama’ah mengetahuinya, terlebih bila dibaca hadits dan terjemahnya.

FATWA DALAM SHALAT TARAWIH / WITIR / TAHAJJUD
  1. Shalat tarawih dijaman Nabi saw sebanyak 8 rakaat dan 3 witir, hal itu dapat dilakukan dengan cara 4-4-3
  2. Tidak disunnahkan membaca do’a bersama-sama antara rakaat.
  3. Tidak dibenarkan antara jama’ah membaca shalawat bersahut-sahutan.
  4. Sebelum Ramadhan tidak perlu shalat tasbih / nishfu sya’ban, karena hujjahnya dha’if.
  5. Shalat witir pada bulan Ramadhan tidak perlu baca qunut witir.

TANGGAPAN PENULIS
  1. Nabi melakukan shalat 8 rakaat 3 witir itu adalah qiyamu Ramadhan atau qiyamul lail, yang dilakukan Nabi saw dimalam Ramadhan maupun di luar Ramdhan. Abi Salamah bin Abdurrahman ra bertanya kepada ‘Aisyah ra, “Bagaimanakah shalat Nabi saw di bulan Ramadhan? Ia menjawab, “Adalah Nabi saw tidak pernah menambah (shalatnya) baik di malam bulan Ramadhan dan bulan lainnya atas sebelas rakaat, beliau shalat empat rakaat jangan engkau tanya bagusnya dan panjangnya kemudian melakukan empat rakaat yang sama, kemudian shalat witir tiga rakaat…” (HR. Muslim)[28] Sedangkan tarawih hanya dimalam bulan Ramadhan saja. Dinamakan tarawih karena banyak istirihatnya, dan itu 20 rakaat dan 3 witir sebagaimana dilakukan dimasa Umar ra. (HR. Baihaqi dari Saib bin Yazid)[29] Sebaiknya dilakukan dengan dua rakaat salam, witir dua kali salam.  Dari Abdullah bin Umar ra berkata, “Ketika Rasulullah saw ditanya tentang cara melakukan shalat sunat malam, beliau menjawab, “Shalat sunat malam adalah dua rakaat dua rakaat, jika kamu khawatir datang waktu shubuh shalatlah (cukup) satu rakaat.” (HR. Muslim)[30] Bukhari Muslim meriwayatkan bahwa Nabi saw keluar pada tengah malam Ramadhan malam yang berbeda, yaitu malam ke-23, 25 dan 27 dan shalat di masjid. Kemudian orang-orang mengikutinya juga. Adalah Nabi bersama sahabat melakukan shalat delapan rakaat, dan beliau menyempurnakan yang sisanya yang tertinggal di rumahnya.[31] Jika kaifiyahnya 4-4 rakaat dan 3 witir, maka shalatnya tidak sah menurut Imam Syafi’i, dan sahnya setiap dua rakaat salam. Jika 4 rakaat sekali salam dengan setiap dua rakaat tahiyat awwal hukumnya makruh menurut Imam Maliki jumlahnya 20 rakaat. Sah disertai makruh 4 rakaat sekali salam menurut Imam Hanafi tanpa tahiyat awwal jumlahnya 20 rakaat. Sedang Imam Hambali menganggapnya sah 4 rakaat sekali salam jumlahnya 11 rakaat.[32]
  2. Benar, tidak disunahkan do’a bersama-sama antara rakaat, tetapi dibolehkan karena tidak adanya hujjah yang melarangnya.
  3. Penulis juga belum menemukan larangan akan hal itu, tetapi membaca shalawat sangatlah dianjurkan kapan dan dimana saja. Apalagi hal itu bentuk kebersamaan dan ukhuwah.
  4. Shalat tasbih sangat dianjurkan, sekalipun hanya sekali seumur hidup. Hujjah satu-satunya penulis temukan dalam sunan Abu Daud bab shalat tasbih.[33] Sedang shalat nishfu sya’ban  (shalat bara’ah) penulis temukan keterangan tentangnya, namun penulis juga meragukan keshahihan hadits dari Abu Hurairah tersebut.[34]
  5. Menurut Imam Malik, tidak ada qunut dalam witir . Sedang menurut Imam Hanafi adanya qunut dalam shalat witir saja. Dari Hasan bin ali ra berkata, Rasulullah saw mengajarkan kepadaku beberapa kalimat yang akan aku baca di shalat witir, yaitu “Allaahummah dinii fiiman haadaiit…..dst” (HR. Abu Daud dan Tirmidzi)[35] Hal mengenahi qunut telah dijelaskan diatas.

FATWA DALAM UPACARA TA’ZIYAH
  1. Wajib bagi umat islam berta’ziyah kepada orang yang terkena musibah kematian 3 hari berturut-turut.
  2. Tradisi (kebiasaan) 7, 40, 100 atau 1000 hari supaya ditinggalkan, karena itu berasal dari ajaran hindu budha.
  3. Dalam ta’ziyah tidak perlu makan-makan, cukup air putih saja.
  4. Acara ta’ziyah lihat QS. Al-Baqarah: 152-160, kemudian berwasiat untuk bersabar dalam menerima musibah dan ditutup dengan do’a untuk almarhum. Tinggalkan kebiasaan membaca yasin, tahlil dan kirim fadhilah bersama-sama. Semua itu hukumnya bid’

TANGGAPAN PENULIS
  1. Benar, ta’ziyah disunnahkan hanya tiga hari saja. Namun jika lebih dari itu tidak dimakruhkan, artinya boleh-boleh saja.[36]
  2. Benar, tradisi tersebut berawal dari kebiasaan nenek moyang sebelum islam. Namun dengan itulah islam berkembang di negeri ini. Relefansinya sangatlah relatif, tidak bisa dipaksakan, apalagi melalui makian dan cacian. Ada keterangan tentang sabda Nabi saw mengenahi hari ke-3, 5, 7 ruh orang yang meninggal minta izin Allah kembali ke kubur untuk menyesali perbuatannya, juga atsar (perkataan) shahabat Abu Hurairah ra dan Ibnu Abbas ra berkata berkaitan ruh orang meninggal pada hari-hari tertentu seperti hari jum’at, ‘Idul Fitri dan Adh-ha, juga nishfu sya’ban sangat mengharapkan sedekah dan do’a dari keluarga yag hidup.[37]
  3. Benar, tidak ada anjuran bagi shahibul mushibah menyediakan makanan dan minuman, tetapi jika itu bantuan dari tetangga sangatlah dianjurkan. Sabda Nabi saw,  “Bantulah (Buatkanlah makanan) buat keluarga Ja’far, maka telah datang kepada mereka sesuatu yang menyibukkan (menyulitkan).” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi dan Abu Daud)[38] Itupun relatif, bagi yang mampu dengan niat menghormati tamu yang ta’ziyah tentu lebih baik.
  4. Benar, mengenahi ayat dan tata cara ta’ziyah tersebut. Mengenai bacaan yasin, tahlil dan lainnya itu perbedaan penafsiran hadits tentang perintah Rasul membacakan surat yasin bagi yang mau meninggal, sementara yang lain menafsirkan setelah meninggal (HR. Abu Daud dan Nasa’i)[39]

FATWA DALAM UPACARA PENGUBURAN
  1. Tinggalkan kalimat persaksian bahwa “Jenazah ini orang baik? Dijawab, khair, khair (baik, baik).” Karena tidak diajarkan Nabi saw.
  2. Tinggalkan ketika mengangkat jenazah turun naik 3kali sambil dibacakan fatihah.
  3. Tinggalkan kebiasaan membangun kuburan dengan bangunan yang mewah.
  4. Tinggalkan kebiasaan adanya bimbingan kepada mayit yang sudah dalam kubur, yang disebut talqin.
  5. Tinggalkan kebiasaan membacakan ayat suci Al-Qur’an diatas kuburan, kalau ziarah kuburan bersihkan lalu berdo’a

TANGGAPAN PENULIS
  1. Benar, kalimat persaksian belum peulis temukan hujjah mengenahi boleh tidaknya itu dilakukan. Tetapi jika hal itu dimaksudkan untuk memuji kebaikan mayit atau agar para ta’ziyyin tidak menyebut-nyebut aib dan keburukannya , tentu itu hal yang baik. Dari anas ra berkata, “Ada mayat yang diiringi lewat dihadapan shahabat, lalu mereka memujinya.” Kemudian Nabi saw bersada, “Wajabat” demikian pula ketika ada mayat yang dicela kejahatannya beliau bersabda, “Wajabat”.  Ketika Rasul ditanya tentang arti dari wajabat, beliau menjawab, “Itu merupakan kesaksian kalian buat Allah di bumi” (HR. Bukhari Muslim)[40]
  2. Tentang mengangkat jenazah 3 kali dengan membaca fatihah, penulis tidak pernah melihat apalagi melakukan pembenaran.
  3. Mengenahi talqin sangat disukai oleh para tabi’in, seperti riwayat dari Dhamrah bin Habih ra, dia seorang tabi’in yang tinggal di Himsha (nama daerah di Palestina) dia orang yang terpercaya meriwayatkan hadits dari Syidad bin Aus ra dan lainnya, bahwa biasanya para shahabat suka membaca talqin. (HR. Sa’id Al-Manshur mauquf) tetapi ada riwayat yang sama dari Abi Amamah ra (HR. Daruquthni marfu’)[41] Dan talqin menurut Imam Syafi’i dan Hambali sangat disukai, sedang Imam Maliki talqin tidak diperintah maupun dilarang, tetapi melihat zhahir riwayat itu dilarang. Dan Imam Hanafi menganggapnya itu makruh, karena sunnahnya talqin ketika masih hidupnya.[42]
  4. Benar, makruh hukumnya membangun kuburan, bahkan bisa jadi haram jika itu buat kesombongan dan kebanggaan.[43]
  5. Membaca ayat Al-Qur’an semisal yasin dan lainnya di kuburan boleh, sesuai pengetahuan penulis dari hujjah Imam Syafi’i, bahwa sangat baik dibacakan sesuatu ayat dari Al-Qur’an, bahkan jika sampai khatam sangatlah lebih baik.[44] Sebaiknya bagi orang yang ziarah sibuk dengan berdo’a dan sungguh-sungguh mengambil I’tibar (pelajaran) dengan kematian serta membaca Al-Qur’an buat mayit. Karena sesungguhnya  hal itu bermanfa’at bagi mayit.[45] Dari Ibnu Abbas ra berkata, bahwa para shahabat membuat persembunyian didekat kuburan, dia tidak mengira dikuburan ada seseorang yang sedang membaca surat Al-Mulk sampai khatam, maka datanglah Nabi saw dan beliau bersabda, “Dia (bacan surat Al-Mulk) ini sebagai penyelamat, yaitu menyelamatkannya (mayit) dari adzab api neraka” (HR. Tirmidzi, Hakim dan Baihaqi berkata hasan) Berkatalah akan hal ini Abu Qasim As-Sa’idi didalam kitabnya Ar-Ruh, “Ini adalah pembenaran dari Nabi saw.”[46] Wallahu A’lam
Demikianlah pendapat dan hujjah-hujjah yang mampu penulis suguhkan, karena dengan segala keterbatasan, penulis hanya bisa mengharap rahmat dan ridha Allah serta pembenahan dan pembenaran dari kaum muslimin semua. Semoga isi tanggapan penulis mengenahi fatwa-fatwa yang mengatasnamakan dari ulama NU Jombang, yang isinya bertolakbelakang dengan realitas dan tradisi NU pada umumnya menjadi kontribusi pemahaman dan alat pengingat bagi yang lupa. 

Kepada kaum muslimin yang mendapat dan membaca tanggapan mengenai fatwa ini, dimohon keikhlasannya memperbanyak dan menyampaikan secara berantai kesemua umat islam agar segera tersosialisasi dengan cepat. Jadikanlah ini sebagai media dakwah dan amar ma’ruf nahi munkar. Semoga pahala dan ampunan Allah selalu menyertai. Jazakumullahi khairan katsiran. Amiin

Wassalaamu’alaikum Wr. Wb



Jakarta, 25 September 2006

Senin, 2 Ramadhan 1427 H


Asimun Mas’ud


[1] Fathul Bari’ juz XV hal 315 / I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah hal 6
[2] Sunan Abu Daud juz IV hal 201 / I’tiqad Ahlussunnah Wal Jama’ah hal 5
[3] Kifayat Al-Ahyar juz I hal 102
[4] Kitabul Fiqhi ‘Alaa Madzahib Al-Arba’ah juz I hal 114
[5] Shaih Muslim juz I hal 236 dan 238
[6] Asbabul Wurud jilid I hal 227
[7] Sirah Shahabat hal 263
[8] Kitabul Fiqhi ‘Ala Madzahibul Arba’ah juz I hal : 176.
[9] Ibid hal : 176.
[10] Ibid hal : 177.
[11] Ibid hal : 177.
[12] Fiqh Syafi’i Al-Ustadz H. Idris Ahmad SH juz 1/205.
[13] Shahih Muslim juz 1 hal : 272 / Sunan Abu Daud juz 2 hal : 69.
[14] Fiqh Syafi’i Al-Ustadz H. Idris Ahmad SH juz 1/206.
[15] Ibid hal : 204.
[16] Ibid hal : 204.
[17] Ibid hal : 207-208.
[18] Fiqhus Sirah (Sirah Nabawiyah) Dr. Muhammad Sa’d Ramadhan Al-Buthy Hal : 235-236 / HR. Bukhari 5 / 43.
[19] Ibid hal : 236. Dalam Mukhtashar Hayatush Shahabah (Sirah Shahabah) hal :176 / Al-Bidayah 4/71 yang hidup hanya satu orang.
[20] Shahih Muslim juz 1/271. Shahih Bukhari juz 1 / 178. Sunan Abu Daud juz 2 / 69
[21] Al-Qur’an dan terjemahnya surat Al-Imran ayat 128. Menurut riwayat Bukhari sebab turunnya ayat ini   karena Rasulullah   mendo’akan keselamatan sebagian pemuka-pemuka musyrik dan melaknat (supaya Allah membinasakan) sebahagiannya
[22] Fiqh Syafi’i Al-Ustadz H. Idris Ahmad SH juz 1 / 202.
[23] Fiqh Syafi’i Al-Ustadz H. Idris Ahmad SH juz 1 / 358-360 / Shahih Muslim juz I hal 333
24 Fiqh Syafi’i Al-Ustadz H. Idris Ahmad SH juz 1 / 361 / Shahih Muslim juz I hal 334
25 Fiqh Syafi’i Al-Ustadz H. Idris Ahmad SH juz 1 hal 295
26 Ibid hal 372
27 Ibid hal 291





28 Shahih Muslim juz I hal 296 / Bulughul Maram hal 84 / Fiqh Syafi’i Al-Ustadz H. Idris Ahmad SH juz 1/355
29 Fikih Syafi’i juz I hal 356
30 Shahih Muslim juz I hal 301
31 Kitabul Fiqhi ‘Ala Madzahibul Arba’ah juz I hal : 178.
32 Ibid hal 179
[33] Sunan Abu Daud juz II hal 29
[34] Durratun Nashihin hal 209
[35] Fikih Syafi’i juz I hal 203 / Sunan Abu Daud juz II hal 63
 36 Kitabul Fiqhi ‘Ala Madzahibul Arba’ah juz I hal : 278.
37 Daqaiq Al-Akbar hal 18
38 Bulughul Maram hal 123 / Kitabul Fiqhi ‘Ala Madzahibul Arba’ah juz I hal 279
39 Bulughul Maram hal 114 / Kitabul Fiqhi ‘Ala Madzahibul Arba’ah juz I hal 259
40 Riyadhush Shalihin hal 416/ 535 terj. 
41 Bulughul Maram hal 122 / Subulus Salam juz II hal 450
42 Kitabul Fiqhi ‘Ala Madzahibul Arba’ah juz I hal 259
43 Kitabul Fiqhi ‘Ala Madzahibul Arba’ah juz I hal 277
44 Riyadhush Shalihin hal 415
45 Kitabul Fiqhi ‘Ala Madzahibul Arba’ah juz I hal 279
46 Al-Habl Al-Matin Fii Itba’I As-Salaf Ash-Shalihin hal 11









Tidak ada komentar:

Posting Komentar