Minggu, 19 Juni 2011

HUKUM YANG DIPERSELISIHKAN PENDAPAT SAHABAT DAN ISTIHSAN


Pada pelajaran kali ini kita akan membicarakan tentang dua dasar hukum Islam yang diperselisihkan kehujjahannya oleh para ahli ushul fiqih dan para fuqoha’, yaitu tentang pendapat dan madzhab shabat dan tentang istihsan.

PERTAMA : PENDAPAT SAHABAT

Definisi sahabat
a.       orang yang khusus bersama dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan lama persahabatannya dengannya dengan diiringi senantiasa berusaha mengikutinya dan berlajar darinya.
b.      Orang yang bertemu dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan beriman kepadaanya dan mati dalam keadaan mukmin.

Sebab mereka memiliki pemahaman yang dalam
a.       persahabatan mereka dengan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam
b.      mereka hidup pada masa turunnya Al Qur’an dan mengetahui sebab-sebab dikatakannya suatu hadits.
c.       Ketakutan mereka yang sangat kepada Allah ta’ala.
d.      Tabiat kearaban mereka

Yang dimaksud dengan Madzhab Sahabat
Semua yang berasal dari seorang sahabat yang selain hadits riwayat dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang menunjukkan kepada pendapatnya.

Kalimat-kalimat yang dikatakan oleh para sahabat yang diperselisihkan
a.       kami diperintahkan demikian
Menurut jumhur bahwa hal itu adalah disandarkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

a.       termasuk dari sunnah adalah demikian
Menurut jumhur bahwa hal itu adalah disandarkan kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.

a.         kami melakukan demikian atau kami mengatakan demikian atau kami berpendapat demikian
1)      Jika penyandarannya kepada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam seperti perkataan Jabir : “Kami melakukan ‘azl pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, sedangkan Al Qur’an masih turun”.[1] Maka ini menjadi marfu’ kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam dengan dua buah syarat :
                                                                           i.                  Jika perbuatan itu pada umumnya adalah sesuatu yang nampak jelas, tidak samar
                                                                         ii.                  Jika ungkapan yang digunakan adalah menunjukkan bahwa sandarannya adalah kepada nash atau kepada ijtihad
2)      Jika penyandaran itu bukan kepada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, maka tidak dapat dihukumi sebagai marfu’.
.
.

Bagian yang diperselisihkan tentang pendapat sahabat
Jika seorang sahabat mengatakan suatu perkataan atau melakukan suatu perbuatan dan tidak tersebar di kalangan sahabat serta tidak diriwayatakan adanya perbedaan pendapat diantara mereka, kemudian hal itu menjadi masyhur setelah itu pada masa tabi’in, maka apakah hal itu merupakan hujjah atas selain sahabat ?

Yang tidak termasuk ke dalam bagian yang diperselisihkan
a.         Jika ada seorang sahabat yang mengatakan suatu pendapat yang tidak tremasuk ke dalam permasalahan ijtihadiyah.
b.      Jika pendapat itu tersebar dan tidak diriwayatkan adanya perbedaan diantara para sahabat. Itu adalah ijmak sukuti.
c.       Jika seorang sahabat mengatakan suatu pendapat tentang suatu permasalahan yang umum terjadi dan tidak diriwayatkan adanya perbedaan pendapat tentangnya. Itu adalah ijmak sukuti.
d.      Jika para sahabat berbeda pendapat kemudian ditarjih diantara mereka.

Pendapat-pendapat tentang kehujjah pendapat sahabat (seperti yang disebutkan di dalam kitab-kitab ushul fiqih, dengan tanpa tarjih)
a.       bahwa dia adalah hujjah
pendapat ini dinisbatkan kepada Imam Malik, Syafi’i pada qoul qodim dan Ahmad pada salah satu riwayat darinya serat pendapat kebanyakan Madzhab Hanafi.

a.         bahwa dia adalah bukan hujjah secara mutlak
pendapat ini dinisbatkan kepada Imam Syafi’i dalam qoul jadid. Dan inilah pendapat Al Ghozali, Al Amidi dan Ahmad dalam sebuah riwayat darinya. Dan ini adalah madzhab Ibnu Hazm dan yang dipilih oleh Ibnul Hajib.

a.         bahwa dia adalah hujjah jika ada pada ssesuatu dimana bukan mereupakan medan bagi pendapat tentangnya. Ini adalah pendapat sekelompok dari Madzhab Hanafi dan pendapoat Al karkhi.

Pendapat sahabat yang berlawanan dengan nash hadits
Yang berlawanan dengan riwayatnya sendiri
Contohnya adalah perkataan Ibnu Umar : “Sesungguhnya jika berdiri untuk shalat, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya sampai mendekati kedua pundaknya. Kemudian dia bertakbir. Dan jika hendak ruku’, maka dia melakukan yang seperti itu. Dan jika bangun dari ruku’ juga melakukan hal seperti itu”.[2]
Yang dilakukan oleh Ibnu Umar adalah seperti yang diriwayatkan oleh Mujahid bahwa dia berkata : “Aku bersahabat dengan Ibnu Ujmar beberapa tahun. Aku tidak melihatnya mengangkat kedua tangannya kecuali hanya pada takbiratul ihram saja”.
1 ) Madzhab Hanafi
Jika dari sisi sejarah bahwa periwayatan hadits itu terjadi setelah perbuatan sahabat tersebut, maka hadits itu menasakh perbuatan itu. Dan jika periwayatan hadits itu terjadi sebelum perbuatan sahabat, maka dia memiliki pengetahuan bahwa hadits itu adalah mansukh.

2 ) Madzhab Syafi’i dan Maliki.
Yang diamalkan adalah hadits, bukan pendapat sahabat.
  Yang berlawanan dengan riwayat sahabat yang lain
1)      Madzhab Hanafi
a)      jika hadits itu adalah merupakan suatu hadits yang tidak asing bagi sahabat yang bersangkutan, maka hukumnya adalah sama dengan hadits yang diriwayatkan oleh dirinya sendiri.
b)      Jika hadits itu adalah hadits yang asing baginya, maka hadits itu yang lebih didahulukan.

2)      Madzhab Jumhur
Yang diamalkan adalah hadits, baik hadits yang asing atau hadits yang umum dikenal luas.

penafsiran seorang sahabat terhadap sebuah hadits dengan suatu penafsiran tertentu. Ini diperselisihkan. Dan pendapat yang rajih –wallaahu a’lam- adalah bahwa yang diamalkan adalah hadits. Tentang hal ini Imam Syafi’i berkata : “Bagaimana aku meninggalkan sebuah hadits karena pendapat seseorang yang berlawanan dengaanya karena kehujjahan yang dimilikinya”.

KEDUA : ISTIHSAN
Definisinya
a.         Menurut bahasa
Yaitu menganggap sesuatu itu baik.

a.         Menurut istilah
1)      Yaitu suatu dalil yang terlintas dalam pikiran seorang mujtahid yang tidak mampu dia ungkapkan karena tidak ada ungkapan yang dipandangnya cocok untuknya.
2)      Yaitu mengalihkan dari akibat suatu qiyas kepada qiyas lain yang lebih kuat.
3)      Mengambil suatu kemashlahatan yang bersifat sebagian di hadapan suatu dalil yang bersifat umum. Contohnya : adalah hutang. Sesungguhnya dia adalah riba pada dasarnya. Karena hutang adalah satu dirham dengan satu dirham pada suatu masa tertentu. Tetapi hutang itu diperbolehkan karena adanya kemashlahatan saling membantu dan mengasihi.

Macam-macam istihsan
a.       ditinjau dari sisi sesuatu yang dialihkan dan tujuan pengalihan
1)      bentuk pertama
Pengalihan dari suatu qiyas yang jelas kepada qiyas lain yang samar.
Contohnya adalah tanah yang diwaqafkan
a)      dari sisi qiyas
bahwa kewajiban irigasi tidak termasuk ke dalam wakaf tanah pertanian, dengan tanpa menyebutkannya dalam akad wakaf.
Sebabnya :
Karena qiyas yang jelas, yaitu qiyas kepada jual beli bahwa jual beli itu menjadikan sesutau yang dijual keluar dari kepemilikan penjual. Maka demikian pula wakaf.
b)      dari sisi istihsan
bahwa irigasi itu termasuk ke dalam akad wakaf tanah pertanian.
Sebabnya :
Yaitu mengalihkan dari qiyas yang jelas kepada qiyas yang samar, karena maksud dari wakaf adalah untuk mengambil manfaat dari sesuatu yang diwakafkan dengan mengembangkan sesuatu yang diwakafkan itu. Sedangkan pengembangan tanah pertanian itu tidak dapat terwujud tanpa mengairinya. Maka qiyas ini lebih kuat pengaruhnya.

2)      bentuk kedua
pengalihan dari nash yang umum kepada suatu hukum yang khusus.
Contoh :
Pengalihan pada waktu musim paceklik dari keumuman firman Allah : وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا  (Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya). (Al Maidah : 38) kepada tidak memotong tangannya, karena mengkhususkan pada keadaan ini. Inilah madzhab Umar bin Al Khathab radliallaahu ‘anhu.

3)      bentuk ketiga
Pengalihan dari suatu hukum yang menyeluruh kepada suatu hukum pengecualian.
Contoh :
Pengalihan pada makan karena lupa pada bulan Ramadlan dari hukum kaidah yang umum tentang kerusakan puasa karena tidak terpenuhinya salah satu rukunnya, yaitu menahan diri kepada hukum yang ditunjukkan oleh dalil yang khusus, yaitu sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang lupa sedangkan dia dalam keadaan berpuasa, kemudian dia makan atau minum, maka hendaklah dia menyempurnakan puasanya. Sesungguhnya Allah telah memberikan makan dan minum kepadanya”.[3]

a.         ditinjau dari sandaran yang merupakan dasar pengalihan. Ini memiliki beberapa bentuk yang akan kami sebutkan beberapa diantaranya :
1)      istihsan yang sandarannya adalah kuatnya riwayat tentangnya
Contoh : sisa air minuman burung yang buas, seperti burung elang.
a)      Najis berdasarkan qiyas kepada binatang-binatang buas, dengan illat (titik temu, sebab hukum) bahwa keduanya adalah najis dagingnya.
b)      Berdasarkan istihsan adalah suci tetapi makruh, karena burung yang buas itu minum dengan paruhnya pada waktu mengambil air dan menelannya. Sedangkan paruh itu sendiri adalah suci dengan sendirinya, karena dia adalah tulang yang kering. Ini berbeda dengan binatang buas. Karena binatang buas itu minum dengan mulutnya yang basah yang disebabkan karena ludah yang berasal dari dagingnya yang najis.

2)      istihsan yang sandarannya adalah kemashlahatan
Contoh : hukum agar buruh yang berserikat seperti penjahit itu agar menanggung kerusakan dari barang yang terjadi padanya, selama kerusakan itu tidak berasal dari kekuatan yang besar (bencana alam misalnya).
a)      berdasarkan qiyas
hukum menyatakan bahwa dia tidak menanggung kerusakan barang yang ada padanya, kecuali jika ada unsur kesengajaan darinya. Karena hal itu mengharuskan tidak adanya perburuhan dan karena dia diijinkan untuk menggunakan apa yang ada pada tangannya.
b)      berdasarkan istihsan
bahwa dia menanggung kerusakan itu, selama kerusakan itu tidak karena kekuatan yang besar. Pengalihan dari qiyas ini adalah bertujuan untuk menjaga harta manusia dari kerusakan.

Perbedaan pendapat tentang kehujahannya.
·  Pendapat-pendapat ulama tentang istihsan
bahwa istihsan adalah merupakan dalil syari’at
dalil-dalilnya adalah :
1)      Firman Allah : الَّذِينَ يَسْتَمِعُونَ الْقَوْلَ فَيَتَّبِعُونَ أَحْسَنَهُ  (yang mendengarkan perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di antaranya). (Az Zumar : 18)
2)      Ijmak ummat ini atas istihsan (kebaikan) masuk kamar mandi umum dengan tanpa mengukur lamanya waktu mandi dan tanpa mengukur banyaknya air yang digunakan.

bahwa istihsan adalah bukan dalil syari’at
1)      karena yang diperintahkan kepada seorang yang muslim adalah mengikuti hukum Allah dan rasul-Nya sebagai hukum yang diqiyaskan kepada keduanya. Maka dengan demikian hukum yang didasarkan oleh seseorang yang mengambil istihsan adalah hukum buatan yang dasarnya adalah perasaan enak dan perasaan hati saja.
2)      Bahwa Allah memerintahkan pada permasalahan-permasalahan yang diperrselisihkan agar kembali kepada nash itu sendiri atau kepada qiyas. Dalilnya adalah firman Allah : فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ  (Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya). (An Nisa’ : 59)

·  Penjelasan bagian permasalahan yang diperselisihkan

Sesungguhnya mereka yang berselisih pendapat di dalam masalah ini tidak menjelaskan inti permasalahan yang diperselishkan. Karena itulah mereka berselisih pendapat. Kesimpulan pendapat yang pertama, yaitu pendapat yang membolehkan adalah bahwa definisi istihsan adalah berpindah pada suatu permsalahan dari hukum-hukum yang sepadan dengannya kepada hukum yang berbeda dengannya karena ada suatu sisi yang yang lebih kuat padanya. Sedangkan kesimpulan dari pendapat yang kedua, yaitu pendapat yang melarang stihsan adalah bahwa definisi istihsan adalah sesuatu yang dianggap baik oleh seorang mujtahid dengan berdasarkan akalnya karena mengikuti hawa nafsunya. Maka kami berkata : “Pendapat yang pertama itu tidak diingkari oleh seorangpun. Dan pendapat yang kedua itu tidak diikuti oleh seorangpun. Maka dengan demikian perbedaan pendapat dalam permasalahan ini sebenarnya tidak ada”.


[1] Muttafaq ‘alaih, Al Lu’lul wal Marjan ( 915)
[2] Muttafaq ‘alaih, Al Lu’lul wal Marjan ( 217) dan lafadz ini adalah milik Muslim
[3] Muttafaq ‘alaih, Al Lu’lul wal Marjan ( 2710 ) dan lafadz ini adalah milik Muslim.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar