Minggu, 19 Juni 2011

HAL-HAL YANG BERKAITAN DENGAN USHUL FIKIH

PERTAMA : DEFINISI ILMU USHUL FIQIH
Yaitu : kumpulan kaidah-kaidah yang umum yang digunakan untuk melakukan istinbath (mengambil kesimpulan) hukum-hukum syari’at dari dalil-dalilnya yang terperinci.
Penjelasan dengan contoh :
Kaidah : Perintah adalah untuk menunjukkan kewajiban
Dalil terperinci : Firman Allah : وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ  (Dan dirikanlah sholat). (Al Baqoroh : 43)
Hukum syari’at yang yang disimpulkan darinya adalah kewajiban mendirikan sholat.

KEDUA : DALIL-DALIL KAIDAH USHUL FIQIH
1.    dari nash-nash Al Qur’an
Contoh :
Kaidah : Tidak ada taklif (pembebanan) kecuali dengan sesuatu yang mungkin dilakukan.
Dalilnya adalah : لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَا  (Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya). (Al Baqoroh : 286)

2.    dari nash-nash As Sunnah
Kaidah : Perintah adalah untuk menunjukkan kewajiban
Dalilnya adalah : “Jika aku tidak memberatkan ummatku, maka aku akan memerintahkan kepada mereka untuk mengunakan siwak setiap kali shalat”.[i]

3.    dari Bahasa Arab dan ilmu-ilmu yang berhubungan dengannya
Kaidah : Perintah itu untuk menunjukkan ketersegeraan.
Dalilnya adalah : bahwa dipahami dari bahasa bahwa jika seorang tuan berkata kepada budaknya : “Ambilkan untukku air minum”, kemudian dia tidak segera melakukannya, maka dia akan dicela.

4.    dari akal
Kaidah : Jika ada dua orang mujtahid yang berbeda pendapat tentang satu hukum, maka salah satu dari keduanya adalah salah.
Dalilnya adalah : bahwa akal itu menyatakan mustahil adanya dua sesuatu yang saling belawanan yang berkumpul jadi satu.

KETIGA : MACAM-MACAM HUKUM

BAGIAN PERTAMA : HUKUM ASAL
Yaitu seperti hukum yang menyatakan bahwa Perintah adalah untuk menunjukkan kewajiban.

BAGIAN KEDUA : HUKUM CABANG (FAR’I).
  1. HUKUM TAKLIFI
    1. Pengertiannya
Yaitu khithob (pembicaraan) Allah ta’ala yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan para hamba untuk tuntutan, permintaan atau melakukan pilihan. 
  1. Macam-macamnya.
a.       Ijab
1)      Pengertiannya
Yaitu permintaan untuk melakukan suatu perbuatan dengan tegas dan kuat
2)      dalil-dalil yang menunjukan ijab dan kewajibannya
a)      dengan fir’il amar, seperti : وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ  (Dan dirikanlah sholat). (Al Baqoroh : 43)
b)      dengan fi’il yang besambung dengan lamul amri, seperti : وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ  (dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka). (Al Hajj : 29)
c)      fi’il yang bersambung denga kata : فَرَض  seperti sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : خَمْسً صَلَوَاتٍ افْتَرَضَهُنُنَّ اللهُ عَلَى الْعِبَادِ  (lima sholat yang diwajibkan oleh Allah ast para hamba).[ii]
d)      dengan kata : كتب  , seperti : كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ (diwajibkan bagia kalian berpuasa). (Al Baqoroh : 183)
e)      dengan kata : وجب  , seperti sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : الْوِتْرُ وَاجِبٌ  (witir adalah wajib).[iii]
f)        Ancaman jika meninggalkan, seperti : وَمَنْ لَمْ يُؤْمِنْ بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ فَإِنَّا أَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ سَعِيرًا  (Dan barangsiapa yang tidak beriman kepada Allah dan Rasul-Nya maka sesungguhnya Kami menyediakan untuk orang-orang yang kafir neraka yang bernyala-nyala). (Al fath : 13)
3)      Catatan
Kewajiban itu bertingkat-tingkat dalam kepentingannya dan keharusan dilakukannya. Bahkan dalam satu macam kewajiban itu berbeda-beda dalam hal ini, seperti sedekah dan kewajibannya.

b.      Tahrim
1)      Pengertiannya
Yaitu permintaan untuk meninggalkan suatu perbuatan dengan tegas dan kuat
2)      dalil-dalil yang menunjukkan tahrim
a)      larangan, seperti : وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا  (Janganlah kalian mendekati perzinaan). (Al Isra’ : 32)
b)      ancaman jika melakukannya, seperti sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Barangsiapa yang memusuhi wali-Ku, maka aku telah mengummkan perang kepadanya”.[iv]
c)      Kata : حرم   , seperti : حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ  (Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi). (Al Maidah : 3)
d)      Kata : اجْتَنِبُوْا  , seperti : فَاجْتَنِبُوا الرِّجْسَ مِنَ الْأَوْثَانِ وَاجْتَنِبُوا قَوْلَ الزُّورِ  (maka jauhilah olehmu berhala-berhala yang najis itu dan jauhilah perkataan-perkataan dusta). (Al Hajj : 30 ) 
c.       Istihbab
1)      Pengertiannya
Yaitu permintaan untuk melakukan suatu perbuatan, tidak dengan tegas dan kuat dan orang yang meninggalkannya tidak berdosa sama sekali.
2)      tingkat-tingkat istihbab
Dua raka’at sebelum shalat Shubuh tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, baik pada waktu mukim maupun bepergian. Dan ada perbuatan-perbuatan sunat yang dibiasakan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada waktu mukim saja dan ada ibadah-ibadah sunnah mutlak yang dilakukan pada waktu sedang giat.

d.      Karahah
1)      Pengertiannya
Yaitu permintaan untuk meninggalkan suatu perbuatan, tidak dengan tegas dan kuat
2)      beberapa tanda-tandanya
a)      jika syari’at memberikan pahala jika meninggalkannya dan tidak menyatakan dosa jika melakukannya.
Contohnya adalah :
Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : Saya adalah pemimpin rumah di sruga bagi orang yang meninggalkan perdebatan walaupun dia berada di pihak yang benar”.[v]
b)      Jika larangan itu disertai sesuatu yang mengalihkannya dari keharaman.
Contohnya adalah :
Hadits yang melarang pembicaraan setelah melakukan Shalat Isya’ dan pembicaraan yang dilakukan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam setelah melakukan Shalat isya’.[vi]
e.       Ibahah
1)      Pengertiannya
Yaitu pemberian kebebasan memilih antara melakukan atau meninggalkan.
2)      Beberapa tanda-tandanya
a)      adanya dalil yang meniadakan pahala dan dosa, baik pada waktu melakukan maupun meninggalkan.
b)      Adanya kata : أذِن  , seperti : أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَاتَلُونَ بِأَنَّهُمْ ظُلِمُوا وَإِنَّ اللَّهَ عَلَى نَصْرِهِمْ لَقَدِيرٌ  (Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu). (Al Hajj : 39)
c)      Adanya kata : لاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ  (tidak ada dosa bagi kalian).

Kaidah-kaidah yang berhubungan dengan hukum-hukum taklif
a.       hal-hal berhubungan dengan sesuatu yang wajib
1)      yang berbungan dengan sesuatu yang wajib ditinjau dari sisi keluasan dan kesempitan waktunya.
a)      Wajib muwassa’, yaitu jika waktu yang ditentukan itu dapat digunakan untuk melaksanakannya dan melaksanakan kewajiban sejenisnya yang lain. Contohnya adalah sholat.
b)      Wajib mudlayyaq, yaitu yang hanya cukup untuk melaksanakan satu kewajiban saja, seperti puasa. Sesungguhnya setelah terbitnya fajar sampai terbenamnya matahari hanya cukup untuk melaksanakan satu puasa saja.

2)      yang berhubungan dengan perbuatan
a)      wajib mu’ayyan (tertentu), yaitu yang merupakan kebanyakan kewajiban.
b)      wajib mubham (tidak ditentukan), seperti kafarat sumpah pada firman Allah : فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ  (tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi makan sepuluh orang miskin, yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak). (Al Maidah : 89)

3)      yang berhubungan dengan pelaku
a)      wajib ‘ain, yaitu wajib dilakukan oleh setiap orang Islam yang mukallaf secara pribadi-pribadi, seperti shalat lima waktu dan puasa.
b)      wajib kifayah, yaitu bahwa yang diperintahkan adalah melaksanakan perbuatan dan tidak disyaratkan harus dilakukan oleh seseorang tertentu, seperti memandikan mayyit dan menshalatkannya. Dan kadang-kadang wajib kifayah itu berubah menjadi wajib ‘ain, seperti jika suatu negeri itu membutuhkan kepada para hakim dan di sana hanya ada dua orang saja, maka jadilah menjadi hakim itu merupakan kewajiban atas keduanya.

4)      sesuatu dimana kewajiban itu tidak dapat dilaksanakan tanpa dengannya.
a)      Pengertiannya yaitu sesuatu dimana kewajiban itu tergantung kepadanya, sehingga dia merupakan muqadimah dari sahnya suatu kewajiban.
b)      Contohnya bahwa Allah mewajibkan menunaikan ibadah haji. Dan haji itu tidak mungkin secara logika dilaksankan tanpa dengan bepergian ke Makkah. Maka jadilah bepergian ke Makkah itu wajib, walaupun tidak ada nashnya dari syari’at.
c)      Catatan
Maksud kami di sini adalah pembahasan tentang hal-hal yang berada di bawah kekuasan seorang yang mukallaf untuk mewujudkannya. Adapun yang diluar kemampuannya, seperti mewujudkan nishobnya zakat, maka tidak termasuk ke dalam pembahasan ini. Demikian juga tidak termasuk ke dalam pembahasan kami sesuatu yang kewajibananya karena suatu urusan tertentu, seperti melakukan wudlu untuk melakukan shalat.

b.      hal-hal berhubungan dengan sesuatu yang haram
1)      apakah satu hal itu mungkin dihukumi halal dan haram dalam satu permasalahan ?
a)      perbuatan yang satu dari sisi macamnya, seperti sujud itu wajib jika karena Allah dan haram jika karena selain Allah
b)      perbuatan satu yang dilakukan oleh satu orang. Walaupun sulit dibayangkan, tetapi hal itu mungkin. Seperti melakukan shalat di tanah hasil rampasan (ghoshob). Maka shalat itu ditinjaud dari dua buah sisi yang saling terpisah satu sma lain.
2)      ketidakmungkinan sesuatu itu menjadi wajib dan haram
yaitu satu perbuatan ditinjau dari satu sisi saja, seperti sujud tertentu yang dilakukan oleh orang tertentu yang menjadi wajib dan haram. Maka jadilah hal itu sebagai sesuatu yang saling berlawanan.

c.       hal-hal berhubungan dengan sesuatu yang mubah
1)      apakah mubah itu masuk ke dalam taklif
a)      satu bagian yang ditegaskan oleh syari’at bahwa hal itu adalah mubah, seperti : أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ  (Dihalalkan bagimu binatang buruan laut). (Al Maidah : 96). Maka bagian ini adalah masuk ke dalam taklif, dari sisi meyakini kemubahannya.
b)      Satu bagian di mana syari’at diam terhadapnya. Maka bagian ini tidak termasuk ke dalam taklif. Tetapi dia tetap berada dalam kategori hukum asal, yaitu mubah.

2)      berubahnya sesuatu yang mubah menjadi mustahab atau wajib atau haram atau yang lainnya karena perbedaan niat
a)      contoh yang berubah menjadi yang mustahab adalah makan itu dapat berubah dari mubah menjadi mustahab jika diniatkan agar menambah kekuatan untuk melaksanakan ibadah.
b)      Contoh yang berubah menjadi yang wajib adalah seperti jika dia takut mati jika tidak makan. Maka wajiblah baginya untuk makan.
c)      Contoh yang berubah menjadi yang haram adalah jika dia makan untuk menambah kekuatan melakukan kemaksiatan.

3)      Pada dasarnya ibadah itu adalah haram dan pada selain ibadah adalah mubah. Maksudnya adalah yang menetapkan adanya suatu ibadah adalah suatu dalil. Adapaun selain ibadah, maka pada dasarnya adalah mubah.


  1. HUKUM WADL’I
    1. Pengertiannya
Yaitu Khithob Allah dengan menjadikan sesuatu sebagai tanda bagi sesuatu yang lain atau menghubungkan antara dua buah hal di mana salah satu dari keduanya adalah merupakan sebab atau syarat atau penghalang (mani’)
  1. Macam-macamnya
a.      Sebab
1)      Pengetiannya
Suatu sifat yang jelas yang tertentu yang dijadikan untuk menetapkan suatu hukum, yaitu dari sisi bahwa syari’at menghubungkan hukum itu dengannya. Atau suatu sifat yang jelas yang tertentu yang keberadaannya mengharuskan keberadaan hukum dan ketiadaannya mengharuskan ketiadaan hukum dengan sendirinya.

2)      Contohnya
Firman Allah : أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ  (Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir). (Al Isra’ : 78). Maka Allah menjadikan tergelincirnya matahari sebagai tanda bagi kewajiban melaksanakan Shalat Dzuhur.

b.      Mani’ (penghalang)
1)      Pengertiannya
Yaitu sesuatu yang keberadaannya mengharuskan ketiadaan hukum dan ketiadaannya tidak mengharuskan ada dan tidak adanya suatu hukum.

2)      Catatan
Seorang yang mukallaf tidak boleh dengan sengaja mengadakan mani’ untuk menghindarkan diri dari hukum-hukum syari’at. Seperti berhutang ketika hendak mencapai haul untuk menghindarkan diri dari kewajiban membayar zakat.

3)      Macam-macamnya
a)      mani’ lil hukmi
·        Pengertiannya
Yaitu sesuatu yang keberadaannya mengakibatnya ketiadaan suatu hukum, walaupun ada sebabsebabnya yang sempurna. Karena mani’ itu adalah merupakan penghalang dari turwujudnya hikmah dari hukum itu.
·        Contohnya
Tidak dibunuhnya seorang bapak yang membunuh anaknya. Karena hikmah qishosh, yaitu menahan diri itu ada pada sifat kebapakannya. Maka jadilah kebapakan itu menjadi mani’ dari hukum qishosh itu.

b)      mani’ lissabab
·        Pengertiannya
Yaitu sesuatu yang mempengaruhi pada sebab yang mengakibatkan hilangnya perbuatannya dan menjadi penghalang dari terwujudnya akibat.
·        Contoh
Pembunuhan seorang ahli waris terhadap orang yang diwarisinya. Ini adalah penghalang sebab pewarisan, yaitu kekerabatan yang menyebabkan terjadinya pewarisan itu.

c.       Syarat
1)      Pengertiannya
Yaitu sesuatu yang ketiadaannya mengharuskan ketiadan hukum dan keberadaannya tidak mengharuskan keberadan hukum atauy ketiadaannya, dengan sendirinya.

2)      Beberapa bentuk
a)      syarat aqli, seperti hidup adalah merupakan syarat untuk mengetahui.
b)      syarat lughowi (bersifat bahasa), seperti : “Jika kamu memasuki rumah itu, maka kamu ditahalak”. Maka kalimat itu tersusun dari fi’il syarat dan jawabannya
c)      syarat syar’i, seperti thaharah adalah merupakan syarat sholat.

d.      Shihhah (sah)
1)      Di dalam masalah ibadah
Yaitu sesuatu yang sesuai dengan syari’at dengan menyempurnakan rukun-rukun, syarat-syarat dan tidak adanya mani’.
2)      Di dalam masalah mu’amalah
Yaitu jika suatu transaksi itu tidak bertentangan dengan syari’at, dengan tidak adanya satu rukun atau syarat atau adanya mani’.
e.       Fasad (rusak)
1)      Pengertiannya
Yaitu sesuai yang tidak terpenuhi salah satu rukun atau salah satu syaratnya atau ada mani’ yang dari keshahihannya.
2)      Antara fasad dan bathil
a)      di dalam ibadah
·        Sesuatu yang disepakati oleh ummat kerusakannya adalah bathil, seperti menikahi ibu.
·        Sesuatu yang diperselisihkan kerusakannya oleh ummat, seperti menikah dengan tanpa wali adalah fasid.
b)      di dalam selain ibadah
Bathil adalah merupakan sinonim dari fasid menurut jumhur. Tetapi Madzhab Hanafi menjadikan fasid itu merupakan kedudukan antara bathil dan sah dan mereka menjadikan bathil itu adalah sesuatu yang pada dasarnya disyari’atkan dengan rukun-rukunnya, seperti jual beli yang dilarang dengan sifatnya, seperti jual beli poada waktu Shalat Jum’at.
[i] Bukhari, Fathul Bari ( 887 )
[ii] Abu Dawud ( 425) Ahmad ( V : 317) dan Ibnu Majah ( 1401 )
[iii] Ahmad ( V : 315 )
[iv] Bukhari, Fathul Bari ( 6502 )
[v] Abu Dawud ( 4800 ) dan dinyatakan hasan oleh Al Al Bani (Shohih Al Jami’ Ash Shoghir : 1477 )
[vi] Bukhari ( II 41), Muslim ( 647 ) dan ( 237 ). Riyadlush Sholihintahqiq Al Arnauth ( 660 )

Tidak ada komentar:

Posting Komentar