Minggu, 19 Juni 2011

DALIL DALIL HUKUM YANG DIPERSELISIHKAN

DALIL DALIL HUKUM YANG DIPERSELISIHKAN

Pada pelajaran ini saya akan menguraikan tentang dua dalil yang diperselisihkan kehujjahannya, yaitu ijma’ dan syar’u man qoblana (syari’at ummat sebelum Islam) oleh para ahli ushul fiqih
 PERTAMA : IJMAK
  1. Definisinya
a.       Menurut Bahasa
1)      Kesepakatan. Hal ini terjadi pada sautu kelompok.
2)      Kehendak yang kuat dan rencana. Ini terjadi dari satu orang atau dari satu kelompok. Allah berfirman : فَأَجْمِعُوا أَمْرَكُمْ وَشُرَكَاءَكُمْ  (karena itu bulatkanlah keputusanmu dan (kumpulkanlah) sekutu-sekutumu (untuk membinasakanku)). (Yunus : 71) 
a.       Menurut istilah
Yaitu kesepakatan para mujtahidin dari ummat Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam pada suatu masa setelah beliau meninggal tentang suatu urusan agama.

Gambaran keberadaan Ijmak
  • keberadaannya tidak dapat dibayangkan (tidak mungkin), karena para ulama saling terpisah-pisah dan jumlah mereka yang banyak.
  • Bahwa keberadananya dapat dibayangkan. Sebabnya adalah :
1)      ummat ini telah sepakat terhadap kewajiban shalat dan rukun-rukun Islam yang lain.
2)      Bahwa ijmak itu telah benar-benar terjadi. Ini menunjukkan bahwa adanya ijmak itu dapat digambarkan oleh akal.
3)      Dapat digambarkan adanya kesepakatan para manusia di bidang urusan-urusan kehidupan, seperti makanan dan minuman. Maka lebih utama lagi jika mereka itu sepakat dalam urusan-urusan agama.
4)      Keberadaan ijmak itu tidak mengakibatkan sesuatu yang mustahil. Maka jadilah dia bukan sesuatu yang mustahil.

Kehujjahan Ijmak
1.      bukan merupakan hujjah. Ini adalah pendapat Mu’tazilah dan Syi’ah.
2.      Bahwa dia adalah merupakan hujjah
1)      sebagai hujjah dzaniyyah (bersifat dugaan kuat). Ini adalah pendapat Fakhrudin Ar Razi dan Al Amidi. Dalilnya adalah :
a)      bahwa sanad hadits-hadits yang menetapkan ijmak semuanya adalah diperbincangkan keshahihannya. Yaaitu yang akan kami sebutkan pada dalil-dalil mereka yang mengatakan bahwa ijmak adalah hujjah qoth’iyah.
b)      Bahwa dalil-dalil itu menunjukkan sesuatu yang bersifat umum.

 2)      sebagai hujjah qoth’iyah (yang pasti, yakin). Ini adalah pendapat As Sarakhsi. Dalil-dalilnya adalah :
a)      dari Al Qur’an firman Allah : وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُولَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيلِ الْمُؤْمِنِينَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيرًا  (Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya, dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang mu’min, Kami biarkan ia leluasa terhadap kesesatan yang telah dikuasinya itu dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali). (An Nisa’ : 115)
b)      dari As Sunnah sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Ummatku tidak akan ijmak pada kesesatan”. [1] dan sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Apa yang dipandang oleh kaum muslimin sebagai sesuatu yang baik, maka dia di sisi Allaha dalah baik. Dan apa yang dipandang oleh kaum muslimin sebagai sesuatu yang jelek, maka dia di sisi Allah adalah jelek”.[2]
c)      Bantahan terhadap orang yang mengatakan bahwa ijmak adalah hujjah dzanniyah :
· Bahwa keseluruhan hadits-hadits itu menunjukkan makna yang qath’i (yakin)
· Bahwa para sahabat berdalil bahwa ijmak adalah sebagai hujjah yang qath’i berdasarkan dalil-dalil itu.
· Bahwa orang yang mengatakannya sebagai hujjah yang dzanniyah lebih mendahulukannya daripada Al Qur’an dan As Sunnah. Maka mengapa mereka tidak menjadikannya sebagai hujjah qoth’iyyah.

 Apakah kemutawatiran itu merupakan syarat pada manusia yang diperhatikan ijmaknya (ahlul ijmak)
  • tidak disyaratkan, alasannya adalah :
1)      bahwa inti dari hujjah itu adalah pada pendapat mereka, bukan jumlah mereka.
2)      Bahwa hadits-hadits yang menetapkan ijmak itu tidak diriwayatkan secara mutawatir. Maka bagaimana ijmak itu sendiri disyaratkan mutawatir.
·         Disyaratkan
Mereka menjelaskan sebuah dalil yang logis yaitu bahwa adat itu menyatakan mustahil jika semua manusia yang banyak itu sepakat atas suatu kesalahan, walaupun jumlah mereka adalah jumlah terkecil dari jumlah kemutawatiran. Maka jika syarat itu tidak ada, maka boleh jadi mereka sepakat atas kesalahan.
·          tidak disyaratkan kemutawatiran, tetapi cukup dua sampai ke atas. Dalilnya adalah :
bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam berkata : “Ummatku tidak akan ijmak pada kesesatan”. [3] maka berdasarkan hadits ini, maka ijmak itu tidak terjadi kecuali dari dua orang atau lebih.
  • siapakah orang yang  diperhatikan ijmaknya (Ahlul ijmak) ?
  1. para ulama di masa itu
pendapat mereka harus diperhatikan karena mereka adalah termasuk ahlul hilli wal ‘aqdi (yang berhak memecahkan permasalahan dan perjanjian) menurut kesepakatan ulama.
  •  selain orang-orang yang mukallaf
pendapat mereka tidak diperhatikan karena mereka bukan merupakan ahli di bidang ijtihad.
·         orang awam
bahwa pendapat mereka tidak diperhatikan. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama ushul fiqih dan para ahli fiqih.
  •  terjadinya ijmak karena adanya kesepakatan kebanyakan ulama pada masa para mujtahidin
  1. ijmak itu dapat terjadi. Ini adalah pendapat Ath Thobari dan Ar Razi
  2. tidak terjadi. Ini adalah pendapat kebanyakan ulama. Dalilnya adalah firman Allah : فَإِنْ تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللَّهِ وَالرَّسُولِ (Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur’an) dan Rasul (sunnahnya). (An Nisa’ : 59). Maka permasalahan-permasalahan yang dimana kebanyakan ulama berpendapat tentangnya adalah diperselisihkan. Para sahabat sepakat bahwa satu orang dari satu jama’ah itu boleh berbeda pendapat pendapat dengan kebanyakan sahabat yang lain. Ibnu Abbas misalnya tidak hanya dalam satu permasalahan saja berbeda pendapat dengan kebanyakan sahabat.
  • Habisnya generasi merupakan syarat dalam ijmak
  1. bahwa disyaratkan habisnya masa itu.
  2. Tidak disyaratkan. Dalilnya adalah :
1)      nash-nash yang menunjukkan ijmak itu tidak terikat dengan suatu masa yang memiliki permulaan dan akhiran.
2)      Bahwa hakekat dari ijmak adalah kesepakatan. Sedangkan syarat kematian mereka yang sudah sepakat itu adalah merupakan tambahan dari hakekat ini. Dan tambahan itu tidak disyaratkan.
3)      Bahwa para tabi’in berhujjah dengan ijmak pada akhir masa sahabat, sedangkan sebagian dari mereka masih hidup.
  •  Ijmak sukuti
  1. syarat-syarat kebenarannya
1)      jika ada beberapa ulama pada suatu masa yang berpendapat dan yang lainnya diam.
2)      Jika masalahnya adalah masalah taklifiyah (fiqih), bukan masalah tauhid dan iktiqod.
3)      Jika masalah itu dikenal luas dan masyhur.
4)      Jika permasalahan itu muncul dari orang yang memiliki keahlian untuk berijtihad.
·         pendapat-pendapat ulama tentangnya.
1)      dia bukan merupakan hujjah dan bukan merupakan ijmak
2)       dia adalah hujjah dan bukan merupakan ijmak
3)      dia dalah hujjah dan ijmak

 KEDUA : SYAR’U MAN QOBALANA (SYARI’AT UMMAT TERDAHULU)
  1. Hukum beribadah dengannya adalah boleh secara logika, karena hal itu adalah bukan merupakan sesuatu yang mustahil dengan sendirinya dan pengandaian keberadaannya juga tidak mengakibatkan sesuatu yang mustahil.
  2. apakah dia juga merupakan syari’at bagi kita ?
    1. Yang tidak ditetapkan oleh syari’at kita bahwa dia adalah merupakan syari’at ummat terdahulu, maka dia bukan merupakan syari’at bagi kita
    2. Yang ditetapkan oleh syari’at kita bahwa dia adalah syari’at ummat terdahulu :
1)      Yang ditetapkan oleh syari’at kita bahwa dia adalah syari’at ummat terdahulu saja, bukan merupakan syari’at kita, seperti kebolehan pernikahan antara saudara laki-laki dengan saudara perempuannya jika bukan berasal dari saudara kembar. Tidak ada perbedaan bahwa ini bukan syari’at bagi kita.
2)      Yang ditetapkan oleh syari’at kita bahwa dia adalah syari’at ummat terdahulu dan ditetapkan pula bahwa dia adalah syari’at bagi kita juga. Seperti puasa. Firman Allah : يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kamu agar kamu bertakwa). (Al Baqoroh : 183). Ini juga tidak ada perselisihan bahwa dia dalah syari’at bagi kita.
3)      Yang ditetapkan oleh syari’at kita bahwa dia adalah syari’at ummat terdahulu, tetapi syari’at kita tidak menafikan dan tidak menetapkannya bagi kita, seperti firman Allah : وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ  (Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata). AL Maidah : 45)
a)      bahwa dia adalah bukan syari’at bagi kita. Dalil-dalilnya :
· firman Allah : لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا  (Untuk tiap-tiap umat di antara kamu, Kami berikan aturan dan jalan yang terang). (Al Maidah : 48)
· Hadits : “Dahulu setiap nabi diutus kepada kaumnya saja. Sedangkan aku diutus kepada yang berkulit merah dan hitam”.[4]
· Jika Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam disuruh beribadah dengannya, maka dia harus menjadikannya sebagai rujukan, tetapi dia menunggu datangnya wahyu dan dia tidak akan tawaquf (berdiam diri) pada masalah Dzihar dan maslaah-masalah yang lainnya.
b)      bahwa dia adalah syari’at bagi kita. Dalilnya adalah :
· Ayat-ayat Al Qur’an, yaitu :
                                                                                                                     i.      Firman Allah : أُولَئِكَ الَّذِينَ هَدَى اللَّهُ فَبِهُدَاهُمُ اقْتَدِهِ  (Mereka itulah orang-orang yang telah diberi petunjuk oleh Allah, maka ikutilah petunjuk mereka). (Al Maidah : 90)
                                                                                                                   ii.      Firman Allah : ثُمَّ أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ أَنِ اتَّبِعْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ  (Kemudian Kami wahyukan kepadamu (Muhammad): “Ikutilah agama Ibrahim seorang yang hanif.” dan bukanlah dia termasuk orang-orang yang mempersekutukan Tuhan). (An Nahl : 123)
                                                                                                                  iii.      Firman Allah : شَرَعَ لَكُمْ مِنَ الدِّينِ مَا وَصَّى بِهِ نُوحًا وَالَّذِي أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ وَمَا وَصَّيْنَا بِهِ إِبْرَاهِيمَ وَمُوسَى وَعِيسَى أَنْ أَقِيمُوا الدِّينَ وَلَا تَتَفَرَّقُوا فِيهِ  (Dia telah mensyari`atkan kamu tentang agama apa yang telah diwasiatkan-Nya kepada Nuh dan apa yang telah Kami wahyukan kepadamu dan apa yang telah Kami wasiatkan kepada Ibrahim, Musa dan Isa yaitu: Tegakkanlah agama dan janganlah kamu berpecah belah tentangnya). (Asy Syura : 12)

· Hadits-hadits Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu :
Bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam memutuskan qishosh pada gigi dan dia berkata : “Kitab Allah adalah qishosh”. [5] dan di dalam Al Qur’an tidak ada ayat tentang qishosh gigi kecuali pada firman Allah : وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ  (Dan gigi dengan gigi). (Al Maidah : 45). Ini adalah merupakan cerita terhadap apa yang telah ditetapkan oleh Allah terhadap ummat Yahudi
· Bantahan terhadap dalil-dalil pendapat pertama : 
1.       terhadap ayat dan hadits itu kami mengatakan bahwa penisbatan suatu syari’at kepada ahlinya adalah ditinjau dari sisi mayoritasnya.
2.       Adapun dalil akal yang mereka sebutkan adalah bahwa hal itu adalah bukan pada permasalahan yang diperselsihkan. Karena perselisihan itu pada sesuatu yang telah ditetapkan oleh syari’at kita.

[1] Abu Dawud dan dinyatakan dla’if oleh Al Albani (Dlo’if Al jami’ Ash Shoghir : 1815)
[2] Diriwayatkan dari Ibnu Mas’ud dengan sanad yang hasan.
[3] Abu Dawud dan dinyatakan dla’if oleh Al Albani (Dlo’if Al jami’ Ash Shoghir : 1815)
[4] Bukhari dan Muslim ( 521) dan lafadz ini miliknya.
[5] Bukhari, Fathul Bari ( 4499)


Tidak ada komentar:

Posting Komentar