Senin, 20 Juni 2011

KEUTAMAAN SHOLAT


Bissmillahir rohmanir rohiim

اتْلُ مَا أُوحِيَ إِلَيْكَ مِنَ الْكِتَابِ وَأَقِمِ الصَّلَاةَ ۖ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ
وَالْمُنكَرِ ۗ وَلَذِكْرُ اللَّهِ أَكْبَرُ ۗ وَاللَّهُ يَعْلَمُ مَا تَصْنَعُونَ

Bacalah apa yang telah diwahyukan kepadamu, yaitu Al Kitab (Al Quran) dan dirikanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan-perbuatan) keji dan mungkar. Dan sesungguhnya mengingat Allah (shalat) adalah lebih besar (keutamaannya dari ibadat-ibadat yang lain). Dan Allah mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. Al ankabut 45)

وَأَقِيمُوا الصَّلَاةَ وَآتُوا الزَّكَاةَ وَأَطِيعُوا الرَّسُولَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan dirikanlah sembahyang, tunaikanlah zakat, dan ta’atlah kepada rasul, supaya kamu diberi rahmat” (An Nur : 56)

ذَٰلِكَ الْكِتَابُ لَا رَيْبَ ۛ فِيهِ ۛ هُدًى لِّلْمُتَّقِينَ
الَّذِينَ يُؤْمِنُونَ بِالْغَيْبِ وَيُقِيمُونَ الصَّلَاةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ

“Kitab (Al Qur’an) ini tidak ada keraguan padanya, petunjuk bagi mereka yang bertaqwa (yaitu) mereka yang beriman kepada yang gaib, yang mendirikan shalat dan menafkahkan sebagian rezki yang Kami anugerahkan kepada mereka” (Al Baqarah : 2– 3 )

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ طَرَفَيِ النَّهَارِ وَزُلَفًا مِّنَ اللَّيْلِ ۚ إِنَّ الْحَسَنَاتِ يُذْهِبْنَ السَّيِّئَاتِ
ۚ ذَٰلِكَ ذِكْرَىٰ لِلذَّاكِرِينَ

“Dan dirikanlah sembahyang itu pada kedua tepi siang (pagi dan petang) dan pada bahagian permulaan daripada malam. Sesungguhnya perbuatan-perbuatan yang baik itu menghapuskan (dosa) perbuatan-perbuatan yang buruk. Itulah peringatan bagi orang-orang yang ingat”
(Hud: 114)

كَلَّا لَا تُطِعْهُ وَاسْجُدْ وَاقْتَرِب

“sekali-kali jangan, janganlah kamu patuh kepadanya; dan sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan)” (Al Alaq : 19)

مُّحَمَّدٌ رَّسُولُ اللَّهِ ۚ وَالَّذِينَ مَعَهُ أَشِدَّاءُ عَلَى الْكُفَّارِ رُحَمَاءُ بَيْنَهُمْ ۖ تَرَاهُمْ
رُكَّعًا سُجَّدًا يَبْتَغُونَ فَضْلًا مِّنَ اللَّهِ وَرِضْوَانًا ۖ سِيمَاهُمْ فِي وُجُوهِهِم مِّنْ أَ
ثَرِ السُّجُودِ ۚ ذَٰلِكَ مَثَلُهُمْ فِي التَّوْرَاةِ ۚ وَمَثَلُهُمْ فِي الْإِنجِيلِ كَزَرْعٍ أَخْرَجَ
شَطْأَهُ فَآزَرَهُ فَاسْتَغْلَظَ فَاسْتَوَىٰ عَلَىٰ سُوقِهِ يُعْجِبُ الزُّرَّاعَ لِيَغِيظَ بِهِمُ
الْكُفَّارَ ۗ وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ مِنْهُم مَّغْفِرَةً وَأَجْرًا
عَظِيمًا

“Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka; kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia Allah dan keridhoanNya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud. Demikianlah sifat-sifat mereka dalam Taurat dan sifat-sifat mereka dalam Injil, yaitu seperti tanaman yang mengeluarkan tunasnya maka tunas itu menjadikan tanaman itu kuat lalu menjadi besarlah dia dan tegak lurus di atas pokoknya; tanaman itu menyenangkan hati penanam-penanamnya karena Allah hendak menjengkelkan hati orang-orang kafir (dengan kekuatan orang-orang mu’min). Allah menjanjikan kepada orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal yang saleh diantara mereka ampunan dan pahala yang besar” (Al Fath :29)

Keutamaan shalat disebutkan pula oleh Nabi Muhammad Saw dalam haditsnya:

1. Yang pertama-tama dipertanyakan (diperhitungkan) terhadap seorang hamba pada hari kiamat dari amal perbuatannya adalah tentang shalatnya. Apabila shalatnya baik maka dia beruntung dan sukses dan apabila shalatnya buruk maka dia kecewa dan merugi  (HR. An-Nasaa’i dan Tirmidzi)

2.Paling dekat seorang hamba kepada Robbnya ialah ketika ia bersujud maka perbanyaklah do’a (saat bersujud)   (HR. Muslim)

3. Perumpamaan shalat lima waktu seperti sebuah sungai yang airnya mengalir dan melimpah dekat pintu rumah seseorang yang tiap hari mandi di sungai itu lima kali. (HR. Bukhari dan Muslim)

4. Barangsiapa meninggalkan shalat dengan sengaja maka dia kafir terang-terangan.  (HR. Ahmad)

5. Abu Hurairah r.a. mengatakan bahwa ia mendengar Nabi saw. bersabda, “Bagaimana pendapatmu seandainya di depan pintu salah seorang di antara kamu ada sungai yang ia mandi lima kali tiap hari di dalamnya, apakah kamu katakan, ‘Kotorannya masih tinggal?’” Mereka menjawab, “Kotorannya sedikit pun tidak bersisa.” Beliau bersabda, “Itulah perumpamaan shalat yang lima waktu. Allah menghapus kesalahan-kesalahan dengannya

6. Nabi ‘Muhammad Saw pernah ditanya : “Amal apa yang paling utama?”. la menjawab : “Shalat pada waktu-waktunya”.

7.Shalat pada awal waktu adalah keridhoan Allah dan shalat pada akhir waktu adalah pengampunan Allah. (HR. Tirmidzi)

Abu Hurairah berkata :
1. “Barangsiapa yang berwudhu kemudian memperbaiki wudhunya, lalu keluar secara sengaja untuk menunaikan shalat, maka dalam shalatnya yang diniatkan tersebut, setiap satu langkahnya.dihitung sebagai kebaikan dan menghapus darinya segala keburukan. Kemudian jika kamu mendengar iqamat, maka sebaiknya tidak terlambat. Sungguh, sebesar-besarnya pahala adalah orang yang rumahnya jauh (dari mesjid). Karena makin banyak langkahnya”

2. “Perbuatan yang terasa lebih dekat kepada Allah Swt adalah jika dia bersujud. Karena itu, perbanyaklah berdoa ketika itu. Wa’allahu a’lam bishowab

اهْدِنَا الصِّرَاطَ الْمُسْتَقِيم
Tunjukkanlah jalan yang lurus


Minggu, 19 Juni 2011

HIKMAH AQIQAH



Orang tua, siapa pun dan di mana pun pasti mendambakan seorang anak yang berbakti, taat dan berperilaku yang sesuai norma agama, apalagi bekal yang bisa diandalkan orang tua ketika meninggal salah satunya adalah anak sholeh yang senantiasa mendo’akannya. Namun tidak sedikit perkembangan si anak selanjutnya justru dipicu dan diwarnai oleh tindakan dan prilaku orang tua itu sendiri sebagaimana disinyalir hadits Nabi SAW : Diriwayatkan dari Abi Hurairoh RA., Rosululloh SAW berabda: Setiap anak terlahir dalam keadaan fithroh (menetapi agama yang suci) kemudian kedua orang tuanya yang menyebabkannya menjadi Yahudi, Nashroni dan Majusi ( HR. Bukhari )

Pada dasarnya, keinginan mempunyai anak dan berusaha untuk mendapatkannya adalah sunnat, firman Alloh SWT dalam Surah Al Baqarah, “Sekarang campurilah mereka (para istri) dan carilah apa yang telah ditetapkan oleh Alloh SWT. (QS.Al-Baqoroh 187)

Rasulullah Shoallallohu ‘Alaihi Wa Sallam bersabda, ”Kullu mawluudin rohiinatun bi’aqiiqotihi yudhbahu yawma sab’ihi wa yukhlaqu wa yusamma,” Setiap bayi yg terlahir itu tergadai dengan aqiqahnya yang disembelih pada hari ketujuh dari kelahiran dan dicukur rambutnya dan diberikan nama.
Imam Mujahid dan Ibnu Abbas menginterpretasikan ayat tersebut, bahwa yang dimaksud adalah seorang anak. Bahkan Rasulullah sangat menganjurkan umatnya untuk mempunyai banyak anak karena hal itu merupakan kebanggaan tersendiri bagi beliau sebagai pemimpin mereka di HariKiamat. Diriwayatkan dari Anas RA. berkata: Rosululloh memerintahkan menikah dan sangat melarang untuk membujang dan beliau bersabda: Menikahlah kalian dengan perempuan yang penuh kasih sayang dan yang bisa memberi banyak anak, karena aku memperbanyak dengan kalian atas para Nabi di Hari Kiamat (HR. Imam Ahmad dam Abu Hatim dalam kitab shohihnya)

AQIQAH, Definisi dan Hukumnya

Ketika seorang bayi lahir ke dunia, orang yang paling bahagia adalah orang tua namun jangan sampai kebahagiaan itu melupakan kegiatan ritual yang seyogyanya dilakukan, salah satunya adalah Aqiqoh.
Aqiqoh secara etimologi (lughot) adalah sebuah nama dari rambut yang terdapat pada kepala bayi ketika dilahirkan. Sedangkan secara terminologi (Syara’) adalah hewan yang disembelih (sebagai ganti) dari anak yang dilahirkan.

Hukum Aqiqoh sendiri adalah sunat muakkad berdasarkan Hadits Nabi SAW.Seorang anak itu tergadaikan (ditebus) dengan Aqiqoh yang disembelih pada hari ketujuh, dicukur rambutnya dan diberi nama ( HR.At Turmudzi ) Kata ”tergadaikan” menurut versi Imam Ahmad bin Hambal, “Bahwa seorang kalau tidak diaqiqohkan, maka tidak bisa memberi syafa’at kepada orang tuanya di Hari Kiamat.4 Hukum sunnat melaksanakan aqiqoh itu dinisbatkan kepada orang yang berkewajiban memberi nafkah terhadap si anak, termasuk bagi seorang ibu yang melahirkan seorang anak dari hasil zina.

Sunat-Sunat AQIQAH

Dalam melaksanakan aqiqoh terdapat kesunatan-kesunatan di antaranya,
1. Menyembelih dua ekor kambing untuk anak laki-laki dan satu ekor untuk perempuan dan banci.
2. Membagikannya dalam keadaan matang kecuali kakinya karena optimisme (tafa’ulan) bahwa anak itu akan hidup dan berjalan.
3. Memasaknya dengan sesuatu yang manis karena ada unsur tafa’ulan terhadap manisnya akhlaq si anak dan karena Rosululloh SAW suka dengan rasa yang manis.
4. Tidak memecah tulang-tulangnya karena ada unsur tafa’ulan agar anggota tubuh si anak selamat.
5. Menyembelihnya pada hari ketujuh dari kelahiran si anak, kemudian hari keempat belas dan hari kedua puluh satu
6. Memberi nama pada hari ketujuh.
7. Mencukur rambut si anak.
8. Bershodaqoh dengan emas atau perak sesuai dengan berat timbangan rambut si anak yang dicukur.

Ketika menyembelih, membaca do’a, :  ”Alloohumaa haadzihi minka wa ilaika fataqarrobat bihaa ilaika haadzihi ’aqiiqotan min ....................... (nama yg di aqiqahkan) fataqobbalhaa minhu / minhaa.” (minhu unt laki2, minhaa unt pr)“Ya Alloh, ini adalah nikmat darimu (dan aku mendekatkan diri dengannya) kepadamu, ini adalah Aqiqohnya si ........................(Fulan) maka terimalah ini aqiqah darinya.”
Dan bagi anak yang belum di aqiqohkan  setelah besar masih disunatkan untuk melaksanakannya untuk dirinya sendiri.

Faedah-Faedah AQIQAH

Dibalik ritual Aqiqoh ada beberapa faedah yang bisa dipetik, di antaranya :
1. Sebagai sarana pendekatan diri dari seorang anak yang dilahirkan karena dengan ini si bayi dapat mengambil manfa’at sebagaimana dia bisa mengambil manfa’at dari sebuah do’a.
2. Bisa melepaskan tergadaikannya seorang anak.
3. Sebagai tebusan untuk menebus si anak seperti Alloh SWT menebus Nabi Isma’il AS dengan domba (gibas).


Memberi Nama (tasmiyah)

Nama adalah sebuah identitas yang sangat dibutuhkan karena berguna untuk dapat dikenali oleh orang lain. Selain itu juga berguna untuk membedakan satu dengan yang lainnya. Islam juga memperhatikannya dengan serius dan menganjurkan memberi nama seorang anak dengan nama yang baik karena bagaimanapun juga sebuah nama berkaitan erat dengan si pemilik nama itu sendiri. Oleh karenanya dalam sebuah Hadits diterangkan, Diriwayatkan dari Abi Darda’, Rosululloh Bersabda “Bahwa kamu semua akan dipanggil pada hari kiamat dengan namamu dan nama ayah kamu maka buatlah nama yang baik.” ( HR. Abi Darda’ dengan sanad yang baik )

Beberapa Nama yang Disunatkan

a. Nama Abdulloh dan Abdurrohman. karena terdapat hadits, “Buatlah nama dengan nama nabi. Dan nama yang paling disukai oleh Alloh swt. adalah Abdulloh dan Abdurrohman.”
b. Nama-nama para Nabi.
c. Nama yang disandarkan pada nama Alloh seperti Abdul Hayyi dan sebagainya.


Nama yang Dimakruhkan

a. Nama-nama yang punya arti jelek.
b. Nama-nama syetan seperti Khonzah,Walhan.
c. Nama-nama tokoh otoriter dan dholim seperti Fir’aun, Qorun, Haman dan sebagainya.
d. Nama-nama malaikat seperti Jibril dan sebagainya. (Untuk poin ini khilaf karena ada sebagian ulama’ yang mengatakan tidak makruh).


Nama-Nama yang Diharamkan

a. Nama sesuatu yang disembah selain Alloh SWT. Seperti Abdul Uzza dan sebagainya.
b. Nama yang artinya Raja Diraja karena yang berhak menyandangnya hanya Alloh SWT.
c. Nama yang artinya Pemimpin Umat, Pemimpin Putra Adam, karena yang berhak memilikinya adalah Rosul SAW.
d. Memberi julukan dengan julukan yang tidak disukainya.


Daftar Pustaka.
-Bujairomi ‘Alal Khotib, Sulaiman Al Bujairomi
-Bujairomi ‘Ala Al Manhaj At Thullab, Sulaiman Al Bujairomi
-Tuhfatul Maudud Fi Ahkamil Maulud, Syamsuddin Muhammad
-Syarhul Kabir, Syamsuddin Bin Abil Faroj


MACAM-MACAM IKHTILAF (PERBEDAAN)

MACAM-MACAM IKHTILAF (PERBEDAAN)
  1. Ikhtilaful qulub (perbedaan dan perselisihan hati) yang termasuk kategori tafarruq (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir
  2. Ikhtilaful ‘uqul wal afkar (perbedaan dan perselisihan dalam hal pemikiran dan pemahaman), terbagi menjadi :
    • Ikhtilaf dalam masalah-masalah ushul (prinsip). Ini pun termasuk kategori tafarruq (perpecahan) dan oleh karenanya ia tertolak dan tidak ditolerir pula. Termasuk ke dalam ikhtilaf model ini adalah permasalahan yang diangkat oleh beberapa orang tentang kehujjahan sunnah dan mereka menyatakan bahwa Al Qur’an saja sudah cukup, sunnah tidak diperlukan. Demikian juga perbedaan pendapat dalam hal-hal yang dengan mudah dipahami dan diketahui dari Agama Islam ini atau yang dikenal dengan istilah ma’lumun minaddin bidl dlarurah, seperti shalat lima waktu sehari semalam, zakat mal, keharaman riba, mengimani sifat-sifat Allah sebagaimana layaknya, dan lain-lain yang mencakup urusan akidah, ibadah dan akhlak. Hukum ikhtilaf dalam masalah ini adalah tidak boleh, haram.
    • Ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ (cabang, non prinsip). Ini termasuk kategori ikhtilaf (perbedaan) yang diterima dan ditolerir, selama tidak berubah menjadi perbedaan dan perselisihan hati. Dan ikhtilaf jenis inilah yang menjadi bahasan utama dalam makalah ini. Dan al-hamdulillah seluruh perbedaan di kalangan para ulama mujtahidin adalah perbedaan dalam kategori ini. Misalnya seluruh ulama sepakat bahwa shalat maghrib adalah fardlu ’ain, tetapi mereka berbeda pendapat di bidang apakah mengangkat tangan ketika takbir itu sampai mendekati pundah atau sampai ke dada atau sampai ke telinga. Perbedaan seperti ini tidak merubah bentuk shalat. Perbedaan tentang qunut, basmalah dan lain-lain adalah perbedaan yang tidak merubah bentuk shalat itu sendiri. Karena mereka yang berpendapat untuk qunut tidak ada satupun yang bebeda pendapat bahwa qunut itu adalah sunnat, tidak wajib dan bukan merupakan rukun shalat, yang senadainya ketinggalan, maka harus diulangi lagi shalatnya. Demikian juga tentang riba, tidak ada perbedaan dialangan seluruh ummat ini bahwa ia diharamkan. Tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah suatu jenis transaksi tertentu termasuk ke dalam kategori riba atau tidak. 

ANTARA IKHTILAF (PERBEDAAN) DAN TAFARRUQ (PERPECAHAN)
  • Setiap tafarruq (perpecahan) merupakan ikhtilaf (perbedaan)
  • Tidak setiap ikhtilaf (perbedaan) merupakan tafarruq (perpecahan)
  • Namun setiap ikhtilaf bisa dan berpotensi untuk berubah menjadi tafarruq antara lain disebabkan :
    1. Karena pengaruh hawa nafsu
    2. Karena salah persepsi (salah mempersepsikan masalah)
    3. Karena tidak menjaga moralitas dan etika dalam berbeda pendapat

HAKEKAT IKHTILAF DALAM  MASALAH-MASALAH FURU’ (IJTIHADIYAH)
  1. Ikhtilaf (perbedaan pendapat) yang dimaksud adalah : perbedaan pendapat yang terjadi diantara para imam mujtahid dan ulama mu’tabar (yang diakui) dalam masalah-masalah furu’ yang merupakan hasil dan sekaligus konsekuensi dari proses ijtihad yang mereka lakukan
  2. Fenomena perbedaan pendapat dalam masalah-masalah furu’ (ijtihadiyah) adalah fenomena yang normal dan wajar, karena dua hal :
    • Tabiat teks-teks dalil syar’i yang potensial untuk diperbedakan dan diperselisihkan, perbedaan jenis ini banyak disebabkan karena perbedaan dalam memahami teks-teks agama, baik Al Qur’an maupun As Sunnah. Saya memberikan sebuah contoh untuk memperjelas permasalahan ini. Jika pembaca memiliki sedikit penhetahuan tentang Bahasa Arab pasti akan dapat memahami contoh ini dengan baik. Perhatikan teks Bahasa Arab berikut ini :
عبد الله مُعَلِّمٌ مَاهِرٌ
Bagi yang memperhatkan teks ini maka dia akan menemukan dua buah pemahaman dan boleh jadi dia akan berbeda pendapat dengan sahabatnya tentangnya.
Pemahaman yang pertama bahwa kata ماهر adalah merupakan sifat dari kata معلم sebelumnya, jadi terjemahan dari teksi itu adalah : Abdullah adalah seorang guru yang pintar. Jadi dalam pengertian ini kepintaran Abdullah itu adalah pada pengajarannya.
Pemahaman yang kedua bahwa kata ماهر adalah merupakan khabar yang kedua, sedangkan kata معلم adalah khabar yang pertama, jadi terjemahan teks itu adalah : Abdullah adalah seorang guru lagi seorang yang pandai. Dalam pemahaman ini kepandaian Abdullah itu tidak semata-mata pada pengajarannya, tapi pada semua bidang.
Nah, ketika memahami sebuah teks yang cukup pendek saja, kita sudah berbeda pendapat tentangnya, bagaimana untuk teks-teks agama yang cukup kompleks dan kadang-kadang berbeda teksnya dan redaksinya.
  1.  
    • Tabiat akal manusia yang beragam daya pikirnya dan bertingkat-tingkat kemampuan pemahamannya
    • Fenomena perbedaan pendapat dalam masalah furu’ (ijtihadiyah) adalah fenomena klasik yang sudah terjadi sejak generasi salaf, dan merupakan realita yang diakui, diterima dan tidak mungkin ditolak atau dihilangkan sampai kapanpun karena memang sebab-sebab yang melatarbelakanginya akan tetap selalu ada !

SEBAB – SEBAB IKHTILAF

Dapat disimpulkan dan dikelompokkan ke dalam empat sebab utama:
  1. Perbedaan pendapat tentang valid – tidaknya suatu teks dalil syar’i sebagai hujjah
  2. Perbedaan pendapat dalam menginterpretasikan teks dalil syar’i tertentu, seperti yang saya sebutkan di dalam contoh di atas.
  3. Perbedaan pendapat tentang beberapa kaidah ushul fiqh dan beberapa dalil (sumber) hukum syar’i (dalam masalah-masalah yang tidak ada nash-nya), seperti qiyas, istihsan, mashalih mursalah, ’urf, saddudz-dzara-i’, syar’u man qablana, dan lain-lain.
  4. Perbedaan pendapat yang dilatar belakangi oleh perubahan situasi, kondisi, tempat , masyarakat, dan semacamnya.

BAGAIMANA MENYIKAPI IKHTILAF ?
  1. Membekali diri sebaik-baiknya dengan ilmu, iman, amal dan akhlaq secara proporsional
  2. Memfokuskan dan lebih memprioritaskan perhatian dan kepedulian terhadap masalah-masalah besar ummat
  3. Memahami ikhtilaf dengan benar, mengakui dan menerimanya sebagai bagian dari rahmat Allah bagi ummat
  4. Memadukan dalam mewarisi ikhtilaf para ulama terdahulu dengan sekaligus mewarisi etika dan sikap mereka dalam ber-ikhtilaf
  5. Mengikuti pendapat (ittiba’) ulama dengan mengetahui dalilnya, atau memilih pendapat yang rajih (kuat) setelah mengkaji dan membandingkan berdasarkan metodologi (manhaj) ilmiah yang diakui, tentu bagi yang mampu !
  6. Untuk praktek pribadi, sebaiknya memilih sikap yang lebih berhati-hati (ihtiyath) dalam rangka menghindari ikhtilaf (sesuai dengan kaidah ”al-khuruj minal khilaf mustahabb”). Contohnya : jika ada pendapat yang menyatkan bahwa sesuatu itu hukumnya wajib dan yang lain menyatakan bahwa hukumnya adalah sunnah, maka laksanakanlah sesuatu itu. Karena dengan melaksanakannya, maka kita sudah keluar dari perbedaan pendapat yang ada. Dan sebaliknya jika ada pendapat yang menyatakan bahwa sesuatu itu haram dan yang lain berpendapat bahwa ia makruh, maka tinggalkanlah ia. Karena dengan meninggalkannya, maka kita sudah keluar dari perbedaan pendapat yang ada. Tetapi jika pendapat itu berlawanan sama sekali, misal yang satu mengatakan wajib dan yang lain menyatakan haram, yang satu menyatakan halal dan yang lain menyatakan haram, maka bertanya kepada ahludz dzikri adalah solusinya.
  7. Sementara terhadap permasalahan yang berkaitan dengan orang lain atau dalam hal-hal yang terkait dengan kemaslahatan umum, terutama di bidang mu’amalah, maka diutamakan memilih sikap melonggarkan dan toleran (tausi’ah &  tasamuh)
  8. Menghindari sikap ghuluw (berlebih-lebihan) dan sikap mutlak-mutlakan dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah
  9. Tetap mengutamakan dan mengedepankan masalah-masalah prinsip yang telah di sepakati atas masalah-masalah furu’ yang di perselisihkan
  10. Tidak menerapkan sikap wala’ dan bara’ dalam ikhtilaf tentang masalah-masalah furu’ ijtihadiyah. Dalam pengertian orang yang tidak sepadan pendapatnya dengan saya, maka saya telah terbebas darinya dan dia termasuk golongan orang yang kafir. Ini adalah sikap yang keliru.
  11. Menjadikan masalah-masalah ushul (prinsip) yang disepakati – dan bukan masalah-masalah furu’ ijtihadiyah – sebagai standar / parameter komitmen seorang muslim
  12. Menjaga agar ikhtilaf dalam masalah-masalah furu’ ijtihadiyah tidak berubah menjadi perselisihan hati !
  13. Menyikapi orang lain sebagaimana kita ingin disikapi
  14. tidak menjadikan permasalahan khilafiyah sebagai identitas diri seperti yang sering kita ketahui dalam komunitas masyarakat ini. Sering kita melihat sekelompok pemuda yang melihat orang lain hanya dari celananya saja, apakah cingkrang atau tidak. Jika cingkrang, maka ia adalah kelompok kita dan jika tidak maka semua omongannya dianggap ocehan belaka. Dan masih banyak lagi pemandangan yang lain yang cukup memprihatinkan.
  15. bekerjasama dalam hal-hal yang disepakati dan saling toleransi dalam hal-hal yang diperselisihkan, selama perselisihan itu masih dalam kategori yang diperselesihkan dan bukan dalam kategori tafarruq.

PELAJARAN DAN TELADAN DARI ULAMA SALAF DALAM MENYIKAPI MASALAH KHILAFIYAH
  1. Al Imam Yahya bin Sa’id Al Anshari berkata : ”Para ulama adalah orang-orang yang memiliki kelapangan dada dan keleluasaan sikap, dimana para mufti selalu saja berbeda pendapat, sehingga (dalam masalah tertentu) ada yang menghalalkan dan ada yang mengharamkan. Namun toh mereka tidak saling mencela satu sama lain”. (Tadzkiratul Huffadz : 1/139 dan Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih 393).
  2. Al-Imam Yunus bin Abdul A’la Ash-Shadafi (salah seorang murid/sahabat Al-Imam Asy-Syafi’i) berkata : ” Aku tidak mendapati orang yang lebih berakal (lebih cerdas) daripada Asy Syafi’i. Suatu hari pernah aku berdiskusi (berdebat) dengan beliau, lalu kami berpisah. Setelah itu beliau menemuiku dan menggandeng tanganku seraya berkata : ” Hai Abu Musa! Tidakkah sepatutnya kita tetap bersaudara, meskipun kita tidak sependapat dalam satu masalah pun ? (tentu diantara masalah-masalah ijtihadiyah) (Siyaru A’lam An-Nubala’ : 10/16-17)
  3. Ulama salaf (salah satunya adalah Al-Imam Asy-Syafi’i) berkata, ”Pendapatku, menurutku, adalah benar, tetapi ada kemungkinan salah. Dan pendapat orang lain, menurutku, adalah salah, namun ada kemungkinan benar”.
  4. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata : ”Seandainya setiap kali dua orang muslim yang berbeda pendapat dalam suatu masalah itu saling menjauhi dan memusuhi, niscaya tidak akan tersisa sedikitpun ikatan ukhuwah diantara kaum muslimin” (Majmu’ Al-Fatawa : 24/173)
  5. Al-Imam Sufyan Ats-Tsauri berkata,”Dalam masalah-masalah yang diperselisihkan diantara para ulama fiqih, aku tidak pernah melarang seorang pun diantara saudara-saudaraku untuk mengambil salah satu pendapat yang ada” (Al-Faqih wal Mutafaqqih : 2/69)
  6. Khalifah Abu Ja’far Al-Manshur (atau Harun Ar-Rasyid) pernah berkehendak untuk menetapkan kitab Al-Muwaththa’ karya Imam Malik sebagai kitab wajib yang harus diikuti oleh seluruh ummat Islam. Namun Imam Malik sendiri justru menolak hal itu dan meminta agar ummat di setiap wilayah dibiarkan tetap mengikuti madzhab yang telah lebih dahulu mereka anut” (Jami’ Bayan al-’Ilmi wa Fadhlih : 209-210, Al-Intiqa’ : 45)
  7. Khalifah Harun Ar-Rasyid berbekam lalu langsung mengimami shalat tanpa berwudhu lagi (mengikuti fatwa Imam Malik). Dan Imam Abu Yusuf (murid dan sahabat Abu Hanifah) pun ikut shalat bermakmum di belakang beliau, padahal berdasarkan madzhab Hanafi, berbekam itu membatalkan wudhu (Majmu Al-Fatawa : 20/364-366)
  8. Imam Ahmad termasuk yang berpendapat bahwa berbekam dan mimisan itu membatalkan wudhu. Namun ketika beliau ditanya oleh seseorang,”Bagaimana jika seorang imam tidak berwudhu lagi (setelah berbekam atau mimisan), apakah aku boleh shalat di belakangnya?” Imam Ahmad pun menjawab,”Subhanallah! Apakah kamu tidak mau shalat di belakang Imam Sa’id bin Al-Musayyib dan Imam Malik bin Anas?” (karena beliau berdualah yang berpendapat bahwa orang yang berbekam dan mimisan tidak perlu berwudhu lagi) (Majmu’ Al-Fatawa : 20/364-366)
  9. Imam Abu Hanifah, sahabat-sahabat beliau, Imam Syafi’i, dan imam-imam yang lain, yang berpendapat wajib membaca basmalah sebagai ayat pertama dari surah Al-Fatihah, biasa shalat bermakmum di belakang imam-imam shalat di Kota Madinah yang bermadzhab Maliki, padahal imam-imam shalat itu tidak membaca basmalah sama sekali ketika membaca Al-Fatihah, baik pelan maupun keras … (Al-Inshaf lid-Dahlawi : 109)
  10. Imam Asy-Syafi’i pernah shalat shubuh di masjid dekat makam Imam Abu Hanifah dan tidak melakukan qunut (sebagaimana madzhab beliau), dan itu beliau lakukan ”hanya” karena ingin menghormati Imam Abu Hanifah. Padahal Imam Abu Hanifah telah wafat tepat ketika Imam Asy-Syafi’i lahir (Al-Inshaf : 110)

METODE ISTINBATH HUKUM-HUKUM DAN KAIDAH-KAIDAHNYA (Bagian II)


PERTAMA : DILALAH KATA KEPADA MAKNA
  1. Kata ditinjau dari sisi jelas atau samar dilalahnya kepada makna
  2. Macam-macamnya
1.     Yang jelas dilalahnya (dimulai dari yang paling samar kemudan yang lebih kuat dan seterusnya)
a.   Dzahir
1)      Definisinya
a)            Maknanya menurut bahasa adalah sesuatu yang jelas
b)      Maknanya menurut istilah adalah yang jelas maknanya dengan sendirinya dan yang dikehendaki adalah tidak dimaksud secara orisinil dalam konteks kalimat.
c)            Praktek
Allah berfirman : فَانْكِحُوا مَا طَابَ لَكُمْ مِنَ النِّسَاءِ مَثْنَى وَثُلَاثَ وَرُبَاعَ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلَّا تَعْدِلُوا فَوَاحِدَةً  (maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja).An Nisa’ : 3)
v     Yang Dzahir adalah kemubahan menikahi wanita-wanita yang dihalalkan
v     Maksudnya adalah kebolehan poligami sampai empat wanita ketika dapat berbuat adil kepada mereka.


2)      Hukumnya
a)      boleh jadi maknanya dialihkan dari dzahirnya seperti jika ada dalil yang mengkhususkan, jika dzahir itu berupa kata yang umum atau disebutkan qoidnya jika kata yang dzahir itu adalah muttlak.
b)            Wajib mengamalkan maknanya yang dzahir selama tidak ada dalil yang mengharuskan pengalihan makna darinya.
c)            Nasakh dari dilalah ini diterima hanya masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam saja.

Nash
1)      Definisinya
Yaitu sesuatu yang dengan kata dan bentuknya menunjukkan kepada sutu makna dan makna itu adalah yang dimaksud secara orisinil dalam konteks kalimat itu.

2)      Contohnya
Firman Allah : وَأَحَلَّ اللَّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا  (Padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba). (Al Baqoroh : 275) Maka nash itu menjelaskan perbedaan antara jual beli dan riba.

3)      Hukumnya
Sama dengan hukum dzahir

4)      Perbedaan antara dzahir dan nash
a)      Dilalah nash itu lebih kuat daripada dilalah dzahir
b)      Makna nash itu adalah merupakan maksud yang asli (orisinil) dalam konteks kalimat
c)      Kemungkinan nash dari takwil adalah lebih jauh daripada dzahir.
d)      Ketika ada kontradiksi maka yang didahulukan adalah nash.

Mufassar
1)      Definisinya
a)      Menurut bahasa adalah sesuatu yang telah ditulis maknanya
b)      Menurut istilah adalah sesuatu yang lebih jelas daripada nash dan dengan sendirinya menunjukan kepada makna yang terperinci kepada suatu sisi yang tidak mengandung penakwilan. Ini dapat dinaskh hanya pada masa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam saja.

2)      Contohnya
Firmannya Allah : وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِينَ كَافَّةً  (dan perangilah kaum musyrikin itu semuanya). (At Taubah : 36)
Maka kata كَافَّة  (semuanya) itu menghilangkan kemungkinan adanya takhsish dari kata “orang-orang kafir” itu.

3)      Hukumnya
Wajib mengamalkannya seperti yang dijelaskan rinciannya dan seperti apa yang ditunjukkanya secara qoth’i.

Muhkam
1)      Definisinya
a)      Menurut bahasa adalah ….
b)      Menurut istilah adalah kata yang dilalahnya kepada makna sudah jelas dengan sendirinya dengan kejelasan yang lebih kuat daripada mufassar dan tidak dapat ditakwilkan dan tidak dapat dinasakh.

2)      Cantoh-contohnya
a)      Nash-nash yang menjelaskan tentang keimanan dan hari akhir
b)      Sabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Jihad itu tetap berlangsung sampai hari kiamat”.[1]
3)      Hukumnya
Wajib mengamalkannya

2.            Yang samar dilalahnya (dimulai dari yang paling samar kemudan yang lebih kuat dan seterusnya)
a.       Khofi
1)            Definisinya
Yaitu suatu kata yang dilalahnya kepada maknanya adalah jelas, tetapi kesesuaian maknanya terhadap beberapa personil maknanya adalah ada sisi kesulitan dan kesamarannya yang membutuhkan pemikiran.

2)            Prakteknya
Nash hadits : “Pembunuh itu tidak mewarisi”.[2] Maka dilalahnya pada dzahirnya adalah jelas. Tetapi prakteknya terhadap pembunuh tertentu adalah ada sedikit kesamaran, karena kemungkinan kata itu maksudnya adalah pembunuhan yang sengaja dan yang tidak sengaja. Karena itulah para fuqoha’ berselisih pendapat tentang pewarisan pembunuh yang salah.

3)            Hukumnya
Wajib melakukan kajian dan pemikiran pada sesuatu yang baru yang menyebabkan kesamaran itu para penerapan kata itu kepada beberapa personilnya.

b.      Musykil
1)      Definisinya
a)      Menurut bahasa masuknya sesuatu pada sesuatu yang lain yang sepadan dan semisal dengannya.

b)      Menurut istilah adalah yaitu suatu nama untuk sesuatu yang serupa …….

2)      Contoh-contohnya
Yaitu kata-kata yang musyratarak, karena sesungguhnya kata itu secara bahasa dibuat untuk menunjukkan lebih dari satu makna, seperti firman Allah : وَالْمُطَلَّقَاتُ يَتَرَبَّصْنَ بِأَنْفُسِهِنَّ ثَلَاثَةَ قُرُوءٍ  (Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru). (AL Baqoroh : 228)

3)      Hukumnya
Wajib melakukan pembahasan dan penelitian terhadap qorinah-qorinah yang menunjukkan kepada makna yang dikehendaki dari kata yang musykil itu.

c.       Mujmal
1)      Defisnisinya
a)      Secara bahasa adalah sesuatu yang tidak nyata
b)      Menurut istilah adalah suatu kata yang samar maksudnya yang tidak diketahui kecuali dengan ada penjelasan dari pembicara

2)      Sebabnya
a)      karena kata yang digunakan adalah kata yang musytarak
b)      Karena keterasingan kata yang digunakan seperti pada firman Allah : الْقَارِعَة  (Hari kiamat).
c)      Pemindahan kata dari maknanya menurut bahasa kepada maknanya menurut istilah

3)      Hukumnya
Tawaqquf (berhenti) sampai adanya penjelasan dari syari’at yang dapat menghilangkan kemujmalannya dan menyingkap maknanya.

KEDUA : METODE DILALAH KATA KEPADA MAKNA

A.           Maksudnya adalah metode-metode penunjukan (dilalah) suatu kata kepada suatu makna
B.           Metode-metode dilalah yang diperhatikan
1.            yang menunjukkan dengan dilalah ibarat (penunjukan ungkapan) nash
a.       maksudnya
yaitu yang suatu dilalah dari duatu kata yang langsung dipahami oleh akal untuk pertama kalinya dari bentuk (shighoh) kata itu sendiri.
b.      contohnya
Firman Allah : وَلَا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلَّا بِالْحَقِّ  (Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu (alasan) yang benar) (Al Isra’ : 33)
Maka ungkapan yang disebutkan oleh kata-kata itu menunjukkan pengharaman membunuh jiwa.

2.            yang menunjukkan dengan isyarat nash
a.       maksudnya
yaitu penunjukkan suatu kata kepada suatu makna yang tidak dimaksud oleh konteks kalimatnya, tetapi makna itu merupakan keharusan dari makna yang dikehendaki oleh konteks kalimat itu.
b.      Contohnya
Firman Allah : أُحِلَّ لَكُمْ لَيْلَةَ الصِّيَامِ الرَّفَثُ إِلَى نِسَائِكُمْ  (Dihalalkan bagi kamu pada malam hari bulan Puasa bercampur dengan isteri-isteri kamu). (Al Baqoroh : 187)
i.                     yang ditunjukkan oleh dilalah ibarat nash adalah kebolehan bercampur dengan istri sampai bagian terakhir dari malam
ii.                   sahnya puasa seseorang yang pada waktu pagi hari masih dalam keadaan junub. Makna inilah yang merupakan keharusan dari konteks itu. Karena pemberian kelonggaran bercampur sampai bagian terakhir dari waktu mengharuskan adanya dua buah sifat yang berkumpul pada seseorang yang berpuasa, yaitu sifat junub dan sifat puasa.

3.            yang menunjukkan dengan dilalah nash (mafhum muwafaqoh)
a.             maksudnya
yaitu penunjukkan suatu kata bahwa suatu hukum yang disebutkan itu juga tetap kepada hukum yang didiamkan karena kesamaanya di dalam illat hukumnya yang dapat dipahami dengan hanya memahami bahasa, tanpa melakukan penyelidikan yang detail dna ijtihad.

b.            contohnya
Firman Allah : فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ  (Maka janganlah kamu berkata : “Ah” kepada keduanya).
Ø      yang ditunjukkan oleh dilalah ibarat nash adalah pengharaman untuk mengatakan “ah” kepada kedua orang tua.
Ø      mafhum muwafaqohnya adalah pengharaman memukul dan mencela. Hukum yang didiamkan ini adalah lebih keras daripada yang disebutkan itu.

4.            yang menunjukkan dengan iqtidlo’ (tuntutan, konsekwensi) nash
a.       Maksudnya
Yaitu suatu ungkapan yang merupakan tambahan dari yang disebutkan di dalam nash dan syaratnya adalah harus disebutkan di awal agar memiliki faedah dan mengharuskan tetapnya suatu hukum.

b.      Contohnya
Firman Allah : حُرِّمَتْ عَلَيْكُمْ أُمَّهَاتُكُمْ وَبَنَاتُكُمْ  (Diharamkan atas kamu (mengawini) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan). (An Nisa’ : 23). Maka perkiraan makna dari nash itu adalah : diharamkan bagi kalian (menikahi) ibu-ibu dan anak-anak perempuan kalian. Makna ini ditinjau dari sisi iqtidlo’ (tuntutan).